Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja rupiah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) pada pekan ini terpantau merana di tengah kembali perkasanya dolar AS karena pasar sedang berhati-hati dan cenderung kembali memburu dolar AS.
Melansir dari Refinitiv pada pekan ini, rupiah melemah 0,49% secara point-to-point, memperpanjang koreksinya yang sudah terjadi sejak pekan lalu yang melemah 0,15%.
Namun pada perdagangan Jumat (27/7/2025), rupiah menguat 0,25% ke level Rp 16.285/US$. Secara lebih rinci, sepanjang pekan ini, rupiah menguat hanya sehari saja yakni pada Jumat kemarin, sedangkan sisanya melemah.
Sementara itu di Asia, mata uang lainnya di hadapan dolar AS juga mayoritas terkapar. Kecuali dolar Hong Kong, ringgit Malaysia, dan baht Thailand yang masih mampu melawan The Greenback pada pekan ini.
Kinerja mata uang Asia yang secara mayoritas merana di hadapan dolar AS juga dapat dibuktikan dengan indeks dolar AS (DXY), indeks yang mengukur kekuatan dolar AS terhadap mata uang utama dunia lainnya seperti euro, yen Jepang, maupun poundsterling Inggris.
Melansir dari Refinitiv pada perdagangan Jumat (18/7/2025), indeks dolar AS/DXY memang melemah 0,25% di level 98,48. Namun sepanjang pekan ini, DXY sudah menguat 0,64%.
Penguatan dolar AS tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan dipicu oleh sejumlah faktor yang saling berkaitan. Mulai dari inflasi AS yang kembali naik, kebijakan tarif Presiden Donald Trump, hingga sikap hati-hati pasar menanti arah kebijakan suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Salah satu pendorong utama penguatan dolar AS adalah data inflasi terbaru. Inflasi tahunan di Negeri Paman Sam naik menjadi 2,7% pada Juni 2025, dari sebelumnya 2,4%. Sementara itu, inflasi inti yang tidak memasukkan harga makanan dan energi juga meningkat menjadi 2,9%.
Kenaikan harga tertinggi tercatat pada kelompok makanan yang naik menjadi 3% dari sebelumnya 2,9%, diikuti oleh jasa transportasi yang meningkat menjadi 3,4% dari 2,8%, serta harga mobil dan truk bekas yang naik menjadi 2,8% dari 1,8%. Sementara itu, penurunan harga energi mulai melambat, hanya turun 0,8% dibandingkan penurunan 3,5% pada bulan Mei.
Harga bensin dan bahan bakar minyak memang masih mengalami penurunan, namun lajunya lebih lambat dibanding bulan sebelumnya. Di sisi lain, harga gas alam tetap tinggi dan melonjak sebesar 14,2%.
Sementara itu, inflasi pada sektor hunian (shelter) dan kendaraan baru justru menunjukkan pelonggaran tipis. Secara bulanan, Indeks Harga Konsumen (CPI) mencatat kenaikan sebesar 0,3% pada Juni, menjadi kenaikan bulanan tertinggi dalam lima bulan terakhir.
Kenaikan ini membuat pasar mulai meragukan prospek pemangkasan suku bunga acuan oleh The Fed dalam waktu dekat. Pasalnya, jika inflasi tetap tinggi, maka The Fed kemungkinan akan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama dari yang diantisipasi pelaku pasar.
"Dengan inflasi yang mulai naik lagi, The Fed sepertinya akan menunda pemangkasan suku bunga, pasar harus menyesuaikan ekspektasi," ujar analis dikutip dari Reuters.
Lonjakan inflasi terbaru di Amerika Serikat diyakini turut dipicu oleh dampak kebijakan tarif impor Trump yang mulai terasa di tingkat konsumen. Barang-barang konsumsi seperti furnitur, elektronik, dan pakaian mengalami kenaikan harga akibat biaya impor yang lebih tinggi, menciptakan efek pass-through, yakni saat beban tarif dialihkan ke harga jual konsumen.
Data dari U.S. Bureau of Labor Statistics menunjukkan bahwa inflasi bulanan (CPI) pada Juni 2025 naik sebesar 0,3%, menjadi yang tertinggi dalam tiga bulan terakhir. Kenaikan ini melanjutkan tren positif dari bulan Mei 0,1% dan April 0,2%, sekaligus menandai pembalikan arah setelah sempat negatif pada Maret -0,1%.
Dengan inflasi yang kembali menguat, ekspektasi pasar terhadap arah kebijakan moneter The Fed pun kembali menjadi perhatian utama.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)