Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan tarif impor tinggi ala Donald Trump kembali menuai sorotan. Ekonom senior asal Amerika Serikat (AS) Arthur Laffer menyebut langkah proteksionis tersebut justru menjadi strategi untuk menciptakan perdagangan global yang lebih bebas.
Menurutnya, pada saatnya nanti, kebijakan Trump itu akan memangkas tarif perdagangan di negara-negara dunia. Namun, pandangan itu tak sepenuhnya diamini oleh kalangan pengusaha Indonesia.
Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Anggawira menilai argumen Laffer menarik, tetapi perlu dikritisi secara kontekstual.
"Pandangan Arthur Laffer, bahwa kebijakan tarif Presiden Donald Trump pada akhirnya akan menguntungkan perdagangan global melalui mekanisme negosiasi, tentu menarik untuk dianalisis secara kritis dari sudut pandang pelaku usaha, khususnya di Indonesia," ujar Anggawira kepada CNBC Indonesia, Rabu (18/6/2025).
Menurutnya, teori Laffer lebih cocok diterapkan di negara-negara besar dengan kekuatan ekonomi seimbang, seperti Amerika Serikat dan China. Sementara Indonesia, sebagai negara berkembang, menghadapi tantangan berbeda.
"Sebagai pelaku usaha, kami melihat bahwa teori tersebut bisa berlaku dalam konteks negara-negara dengan daya tawar ekonomi yang relatif setara. Namun bagi negara berkembang seperti Indonesia, struktur ketergantungan ekspor terhadap pasar besar membuat posisi tawar dalam negosiasi tarif jauh lebih lemah," katanya.
Anggawira menilai kebijakan proteksionisme seperti tarif tinggi justru menciptakan ketidakpastian. Bukannya mendorong efisiensi, strategi tersebut lebih sering memicu volatilitas dan menekan pelaku usaha di negara-negara berkembang.
"Kebijakan proteksionisme seperti tarif tinggi justru dapat menciptakan ketidakpastian pasar, hambatan dagang baru, dan memperlambat rantai pasok global. Dalam jangka pendek, strategi Trump menimbulkan volatilitas, bukan efisiensi," jelasnya.
Bahkan, menurutnya, sebelum ada kesepakatan dagang, pelaku usaha sudah harus menanggung lonjakan biaya logistik dan input produksi.
"Dalam banyak kasus, pengusaha harus menanggung lonjakan biaya input dan logistik sebelum adanya 'kompromi dagang' seperti yang dimaksud Laffer," imbuh dia.
Pengusaha Butuh Kepastian, Bukan Ancaman Tarif
Bagi pelaku usaha di Indonesia, lanjut Anggawira, keberlanjutan ekspor sangat bergantung pada kepastian dan keadilan dalam sistem perdagangan internasional, bukan pada ancaman tarif.
"Perdagangan global justru butuh kepastian, prediktabilitas, dan iklim tarif yang adil, bukan ancaman tarif sebagai alat tawar. Di sektor energi, pertambangan, manufaktur, dan bahkan teknologi, stabilitas regulasi perdagangan jauh lebih penting dibanding permainan geopolitik tarif yang spekulatif," ujar Anggawira.
Mewakili HIPMI dia menyampaikan empat hal yang diharapkan pelaku usaha nasional dalam merespons tren proteksionisme global. Pertama, akses pasar yang adil dan konsisten.
"Kami berharap negara-negara besar, termasuk AS, menjalankan prinsip WTO yang mendukung sistem perdagangan bebas dan adil. Tarif tinggi seharusnya menjadi pengecualian, bukan alat negosiasi rutin," tegasnya.
Kedua, perlindungan terhadap industri dalam negeri secara seimbang. "Jika negara seperti AS menerapkan tarif tinggi, maka negara berkembang juga berhak melakukan rebalancing kebijakan, termasuk melalui tata niaga impor atau peningkatan tarif bea masuk selektif. Namun perlu kebijakan cermat agar tidak menjadi bumerang terhadap kebutuhan bahan baku industri," lanjutnya.
Ketiga, strategi diversifikasi pasar ekspor. "Ke depan, kami mendorong pemerintah RI memperluas perjanjian perdagangan seperti IA-CEPA, IEU-CEPA, dan optimalisasi ASEAN+ agar tidak terlalu tergantung pada satu negara tujuan ekspor, apalagi yang rawan fluktuasi kebijakan," ucapnya.
Keempat, fokus pada daya saing nasional. Menurutnya, dalam menghadapi proteksionisme global, kunci utama tetap pada peningkatan daya saing industri nasional, yakni dengan efisiensi logistik, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), dan hilirisasi berbasis teknologi.
Lebih lanjut, Anggawira menggarisbawahi kebijakan tarif ala Trump mungkin cocok dalam konteks diplomasi dagang bilateral AS, namun belum tentu berdampak positif bagi negara berkembang seperti Indonesia.
"Tarif ala Trump mungkin strategis dalam konteks diplomasi dagang bilateral AS, namun untuk pelaku usaha Indonesia, risikonya lebih besar daripada potensi manfaatnya. Narasi bahwa tarif tinggi akan 'memaksa' dunia ke arah negosiasi yang lebih adil terdengar ideal, tapi realitanya justru bisa menciptakan ketidaksetaraan dan menekan pelaku usaha dari negara berkembang," tegasnya.
Dan bagi pengusaha, yang paling dibutuhkan bukanlah tarif, melainkan kepercayaan dan aturan main perdagangan yang adil. "Yang kami butuhkan bukan tarif, tetapi kepercayaan, akses yang adil, dan kestabilan aturan dagang," pungkas Anggawira.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Trump Mulai Acak-Acak Ekonomi Dunia, RI Juga Jadi Sasaran