Jakarta, CNBC Indonesia - Harga beras internasional sedang mengalami tren penurunan tajam. Data Refinitiv menunjukkan harga beras putih pecah 5% asal Thailand-acuan perdagangan global-merosot dari puncaknya di US$563,5 per ton pada September 2024 menjadi hanya US$372,5 per ton per 31 Juli 2025.
Harga beras per 31 Juli 2025 adalah yang terendah sejak 31 Agustus 2017 atau delapan tahun terakhir. Sepanjang tahun ini, harga beras juga sudah ambruk 26%.
Penurunan ini terjadi bertahap sejak awal 2025, seiring melimpahnya pasokan dari negara-negara produsen utama.
Salah satu faktor utama adalah panen besar di Asia Tenggara. Laporan Rice Outlook April 2025 USDA mencatat lonjakan produksi di Kamboja yang mencapai 7,8 juta ton tertinggi sepanjang sejarah berkat benih unggul dan cuaca bersahabat. Vietnam mempertahankan produksi stabil, sementara Indonesia mencatat kenaikan 4,8% menjadi 34,6 juta ton.
Di Afrika Barat, negara-negara seperti Côte d'Ivoire dan Senegal juga meningkatkan pembelian karena harga internasional yang melemah, menambah perputaran stok di pasar.
Dari sisi perdagangan, keputusan Indonesia menghentikan impor beras dari Thailand memberi tekanan pada eksportir Negeri Gajah Putih, yang selama ini mengandalkan pasar RI. Akibatnya, ekspor Thailand diprediksi anjlok 29,2%, mendorong mereka bersaing harga di pasar lain. Kombinasi surplus produksi dan perebutan pasar inilah yang menekan harga global ke level terendah dalam hampir dua tahun terakhir.
Namun kondisi di dalam negeri sebaliknya, harga beras tengah menunjukkan tren kenaikan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat per awal Agustus 2025 harga beras naik di 191 kabupaten/kota, meliputi seluruh zona wilayah.
Rata-rata harga di zona 1 (Jawa, Lampung, Sumsel, Bali, NTB, Sulawesi) menembus Rp14.731/kg, di zona 2 (Aceh, Sumut, Sumbar, Bengkulu, Riau, Kepri, Jambi, Babel, NTT, Kalimantan) Rp15.744/kg, dan di zona 3 (Maluku, Papua) mencapai Rp20.068/kg, bahkan di Kabupaten Intan Jaya menyentuh Rp54.772/kg.
Padahal, dari sisi produksi, prospeknya cukup cerah. Laporan Rice Outlook April 2025 USDA memproyeksikan produksi beras Indonesia musim 2024/2025 mencapai 34,6 juta ton-naik 4,8% dibanding tahun sebelumnya.
Luas panen juga bertambah menjadi 11,4 juta hektare berkat curah hujan yang konsisten. Stok akhir (ending stocks) bahkan diperkirakan mendekati 5 juta ton, dan impor beras dari hampir 5 juta ton pada 2024 anjlok menjadi hanya 800 ribu ton pada 2025. Secara teori, kondisi ini seharusnya memberi ruang stabilisasi harga.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan masalah klasik, yaitu distribusi. Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Edy Priyono menyoroti disparitas harga yang besar antarwilayah, terutama zona 3 yang selisihnya bisa 40% di atas HET.
Program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang dijalankan Bulog dinilai belum optimal, realisasi penyaluran hingga awal Agustus masih rendah. Edy menegaskan, pemerintah akan terus mendorong penyaluran beras program SPHP yang dijalankan Bulog atas penugasan Badan Pangan Nasional (Bapanas), selain bantuan pangan beras. Namun, realisasi penyaluran SPHP dinilai belum optimal.
"Sampai minggu lalu itu kami monitor dari laporan teman-teman Badan Pangan, realisasinya masih belum terlalu besar. Kalau ada kendala mungkin segera kita bicarakan nanti di dalam rapat khusus untuk melakukan percepatan," ujarnya.
Fakta ini menegaskan bahwa persoalan harga beras di Indonesia tidak sesimpel bergantung pada produksi atau stok, tetapi pada kelancaran rantai distribusi dan timing intervensi pasar. Ketika harga dunia turun, Indonesia justru menghadapi hambatan internal yang membuat harga domestik terus menanjak sebuah paradoks yang perlu segera dibenahi sebelum membebani daya beli masyarakat lebih dalam.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)