Jakarta, CNBC Indonesia - Kepala Staf Pertahanan Prancis, Jenderal Thierry Burkhard, telah memperingatkan bahwa Rusia bisa berada dalam posisi untuk melancarkan serangan militer konvensional terhadap negara NATO pada tahun 2030. Hal ini ia sampaikan saat hubungan Eropa dan Moskow memanas.
Dalam sebuah wawancara yang dikutip Economist, Kamis (31/7/2025), Burkhard menyoroti lanskap keamanan yang berubah dan mendesak peningkatan kesiapsiagaan Eropa. Menurutnya, perlu ada persiapan khusus mengantisipasi serangan ini.
"Kita harus mempertimbangkan bahwa dalam lima tahun, Rusia bisa kembali berada dalam posisi untuk menimbulkan ancaman militer bagi NATO," tuturnya.
Peringatan ini menggemakan penilaian serupa dari pejabat NATO lainnya, termasuk Menteri Pertahanan Jerman, Boris Pistorius, yang sebelumnya mengatakan bahwa serangan bisa terjadi paling cepat pada tahun 2029.
"Hal ini dilakukan dengan tujuan menguji tekad aliansi-dan bahwa taktik hibridanya juga menargetkan infrastruktur penting dan stabilitas politik domestik di Eropa," ujarnya.
Menurut penilaian intelijen NATO yang dikutip dalam The Economist, pasukan Rusia telah mempertahankan tempo operasi yang tinggi di Ukraina sambil secara bersamaan berupaya untuk menyusun kembali unit-unit, meningkatkan produksi pertahanan, dan melakukan latihan skala besar di dekat perbatasan NATO. Meskipun terjadi keausan di medan perang, basis industri militer Rusia sedang diorientasikan ulang untuk keluaran yang berkelanjutan.
Jenderal Burkhard menekankan bahwa Prancis sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan tersebut. Undang-Undang Pemrograman Militer baru negara itu mengalokasikan hampir US$ 460 miliar (Rp 7.558 triliun) untuk pengeluaran pertahanan hingga tahun 2030. Ini termasuk menggandakan kapasitas pengerahan cepat Prancis dan secara signifikan meningkatkan cadangan amunisi.
"Jika kita ingin kredibel," Burkhard mengatakan kepada The Economist, "kita harus bisa bertarung malam ini."
(tps/tps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Trumps Murka, Luncurkan Serangan Militer ke Kubu Houthi