Seberapa Sering Frekuensi BAB yang Paling Sehat? Ini Temuan Ahli

12 hours ago 4

Jakarta, CNBC Indonesia - Kesehatan saluran pencernaan bisa menjadi indikator kesehatan secara keseluruhan.

Melansir Science Alert, sebuah studi yang diterbitkan pada Juli 2024 menyelidiki seberapa sering 1.425 orang buang air besar (BAB). Ahli lalu membandingkan statistik tersebut dengan data demografi, genetik, dan kesehatan mereka. Penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal Cell Reports Medicine.

Hasil studi menunjukkan, buang air besar terlalu sering maupun terlalu jarang dapat dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan. Sementara itu, peserta dengan status kesehatan terbaik cenderung buang air besar satu hingga dua kali sehari, frekuensi yang disebut sebagai Goldilocks zone, yakni tidak terlalu sering dan tidak terlalu jarang.

"Studi ini menunjukkan bagaimana frekuensi buang air besar dapat memengaruhi semua sistem tubuh, dan bagaimana frekuensi buang air besar yang abnormal dapat menjadi faktor risiko penting dalam perkembangan penyakit kronis," kata ahli mikrobiologi Universitas Washington, Sean Gibbons, penulis korespondensi laporan tersebut.

Studi yang dipimpin oleh tim dari Institute for Systems Biology (ISB) ini menyelidiki kebiasaan buang air besar orang-orang yang secara umum sehat, tanpa riwayat masalah ginjal atau usus seperti penyakit ginjal, sindrom iritasi usus besar, atau penyakit Crohn.

Para peserta melaporkan sendiri seberapa sering mereka BAB dan para peneliti mengelompokkannya ke dalam empat kategori, yakni:

- Sembelit, bagi mereka yang buang air besar satu hingga dua kali per minggu

- Normal-rendah, tiga hingga enam kali per minggu

- Normal-tinggi, satu hingga tiga kali per hari

- Diare, empat kali atau lebih per hari, dengan konsistensi tinja encer

Secara umum, mereka yang melaporkan buang air besar lebih jarang cenderung perempuan, lebih muda, dan memiliki indeks massa tubuh (IMT) yang lebih rendah. Namun, orang dengan sembelit atau diare menunjukkan hubungan yang jelas dengan masalah kesehatan yang mendasarinya.

Sampel feses dari orang-orang dengan frekuensi buang air besar yang lebih jarang memiliki tingkat bakteri yang lebih tinggi terkait dengan fermentasi protein. Hal ini merupakan bahaya yang diketahui dari sembelit.

"Jika feses terlalu lama berada di usus, mikroba akan menghabiskan semua serat makanan yang tersedia, yang kemudian difermentasi menjadi asam lemak rantai pendek yang bermanfaat. Setelah itu, ekosistem beralih ke fermentasi protein, yang menghasilkan beberapa toksin yang dapat masuk ke aliran darah," kata Johannes Johnson-Martinez, seorang ahli bioteknologi di ISB.


(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Waspada! Anak Sering Diare Bisa Tingkatkan Risiko Stunting

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |