19 Juta Warga RI Derita Anemia, Ternyata Dampaknya ke Otak Bikin Ngeri

5 hours ago 4

Jakarta, CNBC Indonesia- Prevalensi anemia di kalangan perempuan usia 15 hingga 49 tahun mengalami peningkatan global dari 27,6% pada 2012 menjadi 30,7% pada 2023. Data tersebut menandai bahwa satu dari tiga perempuan dunia kini hidup dengan kekurangan zat besi.

Indonesia termasuk negara dengan jumlah penderita anemia tertinggi, dengan estimasi mencapai 19 juta perempuan setiap tahunnya selama dua dekade terakhir.

Target global untuk memangkas separuh prevalensi anemia perempuan hingga 2030 tampaknya semakin jauh dari jangkauan. WHO menyebut, pada 2023, prevalensi anemia di kalangan wanita hamil mencapai 35,5%, sedangkan pada wanita yang tidak hamil sebesar 30,5%. Jika tidak diatasi, anemia dapat menyebabkan kelelahan kronis, gangguan konsentrasi, komplikasi kehamilan, dan menurunnya kapasitas belajar maupun bekerja.

Indonesia bukan pengecualian. Estimasi jumlah perempuan usia produktif yang mengalami anemia di RI stagnan di kisaran 19 juta orang dalam 15 tahun terakhir. Bahkan sejak 2010 hingga 2023, angkanya tak pernah turun dari 19 juta menandakan bahwa masalah ini masih sangat mengakar.

Di tingkat nasional, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi penyebab utama tingginya prevalensi anemia adalah rendahnya konsumsi Tablet Tambah Darah (TTD) di kalangan remaja putri.

Dari 12,1 juta remaja, lebih dari 8,3 juta tidak rutin mengonsumsi TTD, padahal inilah masa krusial mencegah anemia kronis di usia dewasa dan saat kehamilan.

Dampak Anemia

Dampak anemia sangat nyata. Dalam jangka pendek, anemia bisa menurunkan daya tahan tubuh, menyebabkan kelelahan, dan menurunkan prestasi belajar.

Dalam jangka panjang, perempuan dengan anemia berisiko mengalami komplikasi saat hamil dan melahirkan. Anak yang dilahirkan berpotensi mengalami stunting, pertumbuhan terhambat, hingga gangguan neurokognitif. Dengan kata lain, anemia adalah mata rantai dari masalah pembangunan manusia.

Kondisi ini ironis mengingat tren global menunjukkan perbaikan akses terhadap pangan. Menurut FAO, jumlah orang yang mengalami kelaparan menurun dari 8,5% pada 2023 menjadi 8,2% pada 2024. Namun peningkatan akses pangan tidak selalu sejalan dengan peningkatan kualitas gizi. Sebanyak dua dari tiga perempuan di dunia masih tidak mencapai standar keberagaman konsumsi pangan yang memadai indikator penting dalam pemenuhan mikronutrien seperti zat besi.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah meluncurkan berbagai intervensi seperti Gerakan Aksi Bergizi dan kampanye #AktifMinumTTD.

Namun tantangannya bukan lagi soal suplai tablet zat besi, melainkan bagaimana mengubah persepsi, perilaku, dan pola konsumsi masyarakat. Tanpa perubahan dari hulu ke hilir, jumlah 19 juta perempuan dengan anemia hanya akan menjadi warisan yang terus berulang.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |