loading...
Intelektual Muslim Ibnu Khaldun (1332-1408) Ibnu Khaldun mengatakan, di antara tanda sebuah negara akan hancur, semakin besar dan beraneka ragamnya pajak yang dipungut dari rakyatnya. Foto ilustrasi/pixabay
Intelektual Muslim Ibnu Khaldun (1332-1408) Ibnu Khaldun mengatakan, di antara tanda sebuah negara akan hancur, semakin besar dan beraneka ragamnya pungutan pajak dari rakyatnya.
Menurut Ibnu Khaldun, pajak merupakan tanggungan-tanggungan yang dibebankan kepada masyarakat yang sesuai dengan syariat seperti zakat-zakat, pajak bumi (kharaj) dan pajak kepala (Jizyah) yang digunakan untuk pembangunan negara. (Muqadimmah, 493)
Pemerintahlah yang harusnya menetapkan setiap peraturan termasuk pajak dan masyarakat wajib untuk mentaati peraturan tersebut, hal tersebut tertera dalam Surah An-Nisa Ayat 59 yang berbunyi:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَطِيۡـعُوا اللّٰهَ وَاَطِيۡـعُوا الرَّسُوۡلَ وَاُولِى الۡاَمۡرِ مِنۡكُمۡۚ فَاِنۡ تَنَازَعۡتُمۡ فِىۡ شَىۡءٍ فَرُدُّوۡهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوۡلِ اِنۡ كُنۡـتُمۡ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰهِ وَالۡيَـوۡمِ الۡاٰخِرِ ؕ ذٰ لِكَ خَيۡرٌ وَّاَحۡسَنُ تَاۡوِيۡلًا
Yaaa aiyuhal laziina aamanuuu atii'ul laaha wa atii'ur Rasuula wa ulil amri minkum fa in tanaaza'tum fii shai'in farudduuhu ilal laahi war Rasuuli in kuntum tu'minuuna billaahi wal yawmil Aakhir; zaalika khairunw wa ahsanu taawiilaa
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS An-Nisa : 59)
Tokoh sejarawan dan pemikir Islam kelahiran Tunisia ini bukan bermaksud menolak pajak. Konsep pajak yang ditawarkan Ibnu Khaldun menekankan pada keringanan pajak yang ditetapkan oleh negara kepada masyarakat. Sehingga menjadi motivasi bagi masyarakat untuk lebih giat bekerja.
Pandangan Islam Terhadap Pajak
Menurut Ustaz Farid Nu'man Hasan (Dai lulusan Sastra Arab Univeristas Indonesia), dalam pemerintahan Islam masa lalu, uang belanja negara didapatkan dari:
1. Ghanimah (harta rampasan perang)
2. Fa'i (harta rampasan perang tanpa peperangan, musuh meninggalkan hartanya karena kabur/takut, seperti perang tabuk)
3. Jizyah dari Kafir Dzimmi
4. Zakat
5. Hadiah dari negara sahabat.
Tapi saat ini dan ada beberapa sumber yang belum bisa lagi dilaksanakan (seperti ghanimah, fa'i, dan jizyah), maka banyak negeri-negeri muslim menambahkan melalui sumber lain, seperti: eksport impor, utang dan pajak.
Pajak sendiri dibolehkan oleh empat Mazhab, yaitu Adh Dharaaib Al 'Adilah (pajak yang adil), sebagai biaya belanja negara, seperti penjelasan nanti. Namun, sebagian ulama ada yang mengharamkannya, dan menyamakannya dengab Al-Maks (pungli).
Perselisihan ini diawali oleh apakah kewajiban harta itu hanya zakat? Ataukah ada kewajiban lain selain zakat?
Untuk diketahui, pajak dibolehkan oleh empat Mazhab, yaitu Adh Dharaaib Al 'Adilah (pajak yang adil), sebagai biaya belanja negara, seperti penjelasan berikut.
Namun, sebagian ulama ada yang mengharamkannya, dan menyamakannya dengab Al-Maks (pungli). Perselisihan ini diawali oleh apakah kewajiban harta itu hanya zakat? Ataukah ada kewajiban lain selain zakat?
Berikut ini penjelasan dari Ustaz Farid Nu'man Hasan. Muncul pertanyaan, benarkah tidak ada kewajiban lain bagi rakyat terhadap negara selain zakat? Hal ini diperselisihkan ulama:
1. Kelompok Pertama, mengatakan tidak ada alias kewajiban rakyat kepada pemerintah hanya Zakat.
Ini adalah pendapat Imam Adz-Dzahabi, Syekh Albani, Syekh Ibnu Baaz, Syekh Utsaimin, dan lainnya. Alasan mereka:
- Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, sesungguhnya ada seorang Badui datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata: "Tunjukan kepadaku amal yang jika aku kerjakan mengantarkan ke surga." Rasulullah menjawab: "Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya dengan apapun, menegakkan shalat yang wajib, menunaikan wajibnya zakat, dan puasa Ramadhan." Orang itu berkata: "Demi yang jiwaku ada di tanganNya, aku tidak akan menambahnya." Ketika orang itu berlalu, Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang ingin melihat laki-laki yang termasuk ahli surga, maka lihatlah orang itu." (HR Al-Bukhari, Al Lu’lu’ wal Marjan, Kitab Al Iman, Bab Bayan Al Iman Alladzi yadkhulu bihi al Jannah, No. 8)
Baca juga: Hukum Memungut Pajak dari Rakyat dan Kriterianya dalam Islam, Simak di Sini!