Jakarta, CNBC Indonesia - Sinyal-sinyal pelemahan ekonomi domestik semakin jelas. Sejumlah indikator penting mulai dari penurunan kredit konsumsi, lesunya penjualan mobil, hingga melemahnya kepercayaan konsumen menunjukkan bahwa roda ekonomi Indonesia tengah bergerak lambat dan berpotensi kehilangan momentum.Tekanan juga terlihat dari sisi sektor riil dan lapangan kerja, di mana kontraksi sektor manufaktur dan lonjakan PHK mulai mencuat.
Hal ini bisa menjadi sinyal bahaya bagi Indonesia dalam menghadapi risiko perlambatan yang lebih dalam jika tidak segera ada langkah korektif dari pemerintah.
Berikut ini beberapa sinyal yang mengindikasikan pelemahan ekonomi Indonesia.
1. PMI Manufaktur Terkontraksi
Aktivitas sektor manufaktur Indonesia kembali mengalami tekanan. Berdasarkan data S&P Global, Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Juli 2025 tercatat sebesar 49,2, yang berarti berada di zona kontraksi. Ini menjadi bulan keempat berturut-turut PMI berada di bawah ambang ekspansi (50,0), menandakan pelemahan yang konsisten dalam aktivitas manufaktur nasional.
Sebelumnya, PMI manufaktur Indonesia tercatat di level 46,7 pada April, 47,4 pada Mei, dan 46,9 pada Juni 2025. Meskipun angka pada Juli menunjukkan sedikit perbaikan, posisi yang masih berada di bawah 50 menandakan bahwa pelaku industri tetap menghadapi tekanan, terutama dari sisi permintaan dan produksi.
PMI merupakan indikator penting yang merefleksikan kondisi aktual dan ekspektasi dunia usaha. Ketika indeks ini menunjukkan kontraksi dalam jangka waktu yang panjang, hal ini mengindikasikan bahwa sektor manufaktur sedang mengalami penurunan permintaan, efisiensi produksi yang menurun, hingga potensi pengurangan tenaga kerja.
2. Inflasi Juli 2025 Dipicu oleh Gangguan Pasokan
Laju inflasi Indonesia pada Juli 2025 melonjak menjadi 2,37% secara tahunan (yoy), naik signifikan dari 1,87% pada Juni. Ini merupakan angka inflasi tertinggi dalam 13 bulan terakhir. Namun, tekanan inflasi kali ini lebih disebabkan oleh gangguan sisi pasokan, bukan karena peningkatan permintaan masyarakat.
Kenaikan inflasi terutama dipicu oleh lonjakan harga pangan, seperti beras, bawang, dan tomat, yang mengalami kenaikan tajam akibat gangguan pasokan dan cuaca ekstrem. Kondisi ini menyebabkan gagal panen dan hambatan distribusi di sejumlah daerah.
Meskipun demikian, inflasi inti yang tidak memasukkan komponen harga pangan dan energi yang bergejolak terpantau relatif stabil di 2,32% YoY.
Stabilnya inflasi inti menunjukkan bahwa tekanan harga yang terjadi saat ini lebih banyak bersumber dari sisi penawaran (supply) bukan dari peningkatan permintaan masyarakat.
3. PHK Meningkat di Semester I 2025
Lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) selama semester I-2025 menjadi sinyal keras bahwa tekanan terhadap perekonomian nasional semakin memburuk.
Berdasarkan data Satudata Kementerian Ketenagakerjaan, sebanyak 42.385 pekerja mengalami PHK dari Januari hingga Juni 2025, melonjak tajam 32,19% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jawa Tengah mencatat jumlah PHK terbanyak dengan 10.995 orang, diikuti oleh Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Fenomena ini menggambarkan mulai rapuhnya ketahanan sektor usaha, terutama di industri padat karya.
Dampak dari gelombang PHK ini tidak bisa dianggap sepele. Kenaikan jumlah pengangguran secara langsung menekan daya beli masyarakat, yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi domestik.
Ketika masyarakat kehilangan pendapatan, konsumsi barang dan jasa ikut menurun, menyeret turun kinerja sektor ritel, manufaktur, hingga jasa. Ini menciptakan efek domino yang semakin memperdalam perlambatan ekonomi.
Kondisi ini menambah tekanan bagi perekonomian nasional yang tengah terhimpit berbagai indikator negatif lainnya.
4.Pertumbuhan Kredit Perbankan Melambat
Hingga akhir Juni 2025, pertumbuhan kredit perbankan tercatat sebesar 7,77% secara tahunan (yoy), melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 8,43% yoy. Di sisi lain, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) justru mengalami peningkatan menjadi 6,96% yoy, namun masih berada di bawah laju pertumbuhan kredit.
Menurut Trioksa Siahaan, Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), tren pelambatan kredit ini kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya penempatan dana bank ke instrumen surat berharga yang dianggap lebih aman.
Dia menilai, keputusan tersebut diambil karena kondisi ekonomi saat ini dinilai belum sepenuhnya kondusif, sehingga bank memilih menjaga likuiditas dan menghindari risiko tinggi.
Perlambatan penyaluran kredit perbankan bisa berdampak besar terhadap perekonomian nasional.
Dunia usaha berpotensi kesulitan mendapatkan pembiayaan untuk ekspansi, sementara konsumsi masyarakat juga bisa melambat karena terbatasnya akses terhadap kredit konsumsi seperti KPR dan kredit kendaraan bermotor. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat menjadi salah satu faktor penahan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada paruh kedua 2025.
5.Indeks Kepercayaan Konsumen Melemah
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia pada Juni 2025 tercatat sebesar 117,8, hanya naik tipis dari bulan sebelumnya yang berada di level 117,5.
Meskipun secara teknikal masih berada di zona optimis (di atas 100), level ini mencerminkan bahwa kepercayaan konsumen masih lemah, bahkan mendekati posisi terendah sejak September 2022, ketika ekonomi masih dalam masa pemulihan pasca Covid-19.
Yang menjadi perhatian, periode Juni-Juli biasanya didorong oleh momentum libur sekolah, yang kerap meningkatkan konsumsi rumah tangga. Namun, data IKK justru menunjukkan pesimisme konsumen, terutama terhadap prospek penghasilan ke depan. Ini mengindikasikan bahwa masyarakat lebih cenderung menahan belanja dan memilih menabung atau menunda konsumsi.
Melemahnya kepercayaan konsumen berpotensi menjadi beban serius bagi perekonomian Indonesia, mengingat konsumsi domestik menyumbang lebih dari 50% terhadap PDB. Jika tren ini terus berlanjut, daya dorong utama pertumbuhan ekonomi bisa kehilangan momentum, terutama di tengah tekanan eksternal dan pelambatan sektor riil.
6. Warga RI makin pesimis soal penghasilan
Data Indeks Ekspektasi Penghasilan (IEP) menunjukkan tren penurunan. Pada Juni 2025, IEP tercatat sebesar 133,2, turun 2,2 poin dari bulan sebelumnya yang berada di level 135,4. Angka ini merupakan yang terendah sejak Desember 2022, saat IEP berada di level 133,3.
IEP adalah indikator penting yang mencerminkan keyakinan konsumen terhadap prospek penghasilan dalam enam bulan ke depan.
Artinya, masyarakat kini semakin pesimis terhadap kemungkinan peningkatan penghasilan mereka hingga akhir tahun ini, atau paling tidak hingga Desember 2025.
7. Pertumbuhan Kredit Konsumsi dan KPR Melemah
Pertumbuhan kredit konsumsi dan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Indonesia terus menunjukkan tren pelemahan dalam beberapa bulan terakhir. Setelah sempat mencatatkan performa solid di awal tahun, perlambatan mulai terlihat sejak Februari 2025 dan berlanjut hingga pertengahan tahun, mencerminkan tekanan yang masih membayangi perekonomian domestik.
Tren penurunan ini memberikan sinyal bahwa daya beli masyarakat dan optimisme konsumen masih belum sepenuhnya pulih.
Lemahnya permintaan terhadap kredit konsumsi termasuk untuk kebutuhan primer seperti perumahan bisa menjadi indikasi bahwa rumah tangga mulai lebih berhati-hati dalam berutang, baik karena ketidakpastian pendapatan maupun ekspektasi ekonomi yang belum membaik.
Jika kondisi ini terus berlanjut, maka risiko tekanan terhadap konsumsi domestik akan semakin besar pada paruh kedua 2025.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), pertumbuhan tahunan kredit konsumsi pada Juni 2025 tercatat sebesar 8,6% YoY, sedikit melambat dari Mei (8,7%) dan jauh di bawah puncaknya pada Februari 2025 yang mencapai 10,2% YoY. Pelemahan ini juga tercermin pada pertumbuhan KPR, yang merupakan komponen penting dalam kredit konsumsi dan menjadi indikator utama kemampuan masyarakat untuk membeli hunian.
Hingga Juni 2025 ini, pertumbuhan kredit KPR hanya tumbuh 7,7% (yoy), turun dari bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 8,0% yang mana angka ini tetap lebih rendah dibandingkan capaian pertumbuhan di Januari dan Februari 2025 yang masing-masing mencatat pertumbuhan sebesar 10,6% dan 10,5%.
Tren penurunan ini memberikan sinyal bahwa daya beli masyarakat dan optimisme konsumen masih belum sepenuhnya pulih.
Lemahnya permintaan terhadap kredit konsumsi termasuk untuk kebutuhan primer seperti perumahan bisa menjadi indikasi bahwa rumah tangga mulai lebih berhati-hati dalam berutang, baik karena ketidakpastian pendapatan maupun ekspektasi ekonomi yang belum membaik. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka risiko tekanan terhadap konsumsi domestik akan semakin besar pada paruh kedua 2025.
8. Penjualan Mobil Melemah, Sektor Otomotif Masih Tertekan
Sektor otomotif nasional masih menunjukkan kinerja yang lesu menjelang rilis resmi data penjualan mobil Juli 2025 oleh Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) pada Jumat (8/8/2025).
Tren pelemahan sudah terlihat dari data bulan sebelumnya, di mana penjualan mobil secara wholesales (dari pabrik ke dealer) pada Juni 2025 hanya mencapai 57.761 unit, turun 4,71% dibandingkan Mei yang mencatat 60.612 unit.
Penurunan juga terjadi pada penjualan retail (dari dealer ke konsumen), yang menyusut tipis 0,6%, dari 61.307 unit di Mei menjadi 60.647 unit pada Juni. Secara tahunan (yoy), pelemahan lebih tajam: penjualan wholesales anjlok 22,6%, sementara retail turun 12,3% dibandingkan Juni 2024.
Lesunya penjualan kendaraan roda empat ini mencerminkan masih lemahnya daya beli masyarakat serta minimnya dorongan dari pertumbuhan ekonomi yang belum signifikan.
GAIKINDO berharap gelaran GIIAS (Gaikindo Indonesia International Auto Show) yang berlangsung pada 24 Juli-3 Agustus 2025 dapat memberikan stimulus terhadap permintaan, khususnya di semester kedua tahun ini. Namun, tanpa perbaikan fundamental daya beli dan kepercayaan konsumen, pemulihan sektor otomotif bisa berjalan lambat.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)