Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Saat ini Amerika Serikat sedang mengembangkan program pesawat tempur generasi keenam F-47 dan FA-XX berdasarkan pengalaman dari program F-22 dan F-35 yang merupakan jet tempur generasi kelima. Sementara konsorsium Future Combat Air System dan Global Combat Air Program mengembangkan penempur generasi keenam melalui loncatan dari pengalaman program Rafale dan Eurofighter Typhoon yang dikategorikan sebagai generasi 4.5.
Adapun J-20 dan J-35 dijadikan basis pengalaman oleh Cina dalam program jet tempur generasi keenam. Memperhatikan bahwa hanya Amerika Serikat dan China yang menjalankan program pesawat tempur generasi keenam secara mandiri tanpa konsorsium, hal demikian menunjukkan bahwa biaya program tersebut sangat mahal.
Pada sisi lain, Amerika Serikat masih terus memproduksi F-35 yang merupakan satu-satunya penempur generasi kelima yang dikembangkan lewat konsorsium besar. Tidak diragukan bahwa peluang pasar ekspor pesawat tempur bermesin tunggal tersebut tidak sebesar F-16 disebabkan oleh pertimbangan keamanan teknologi.
Salah satu syarat menjadi operator F-35 ialah negara pengguna memiliki rezim keamanan teknologi yang kuat, mengingat otak dan tulang punggung F-35 adalah perangkat lunak yang selalu mendapat pembaruan secara berkala walaupun tidak sedang menjalani fase pemeliharaan dan perawatan tingkat berat.
Hal ini yang membedakan dengan jet tempur generasi 4 dan generasi 4.5 di mana pembaruan perangkat lunak terjadi saat tahap pemeliharaan dan perawatan tingkat berat dilaksanakan.
Teknologi-teknologi yang diadopsi oleh jet tempur generasi kelima bukan sekedar material yang dapat menyerap gelombang radar dan adopsi radar AESA, akan tetapi mencakup pula teknologi terkait perangkat lunak, termasuk teknologi digital. Seperti pernah ditulis sebelumnya, diktum Hukum Moore menyatakan bahwa daya teknologi digital meningkat dua kali lipat setiap dua tahun yang membuat teknologi sebelumnya usang.
Dengan kata lain, pabrik pesawat terbang yang mengembangkan pesawat tempur generasi kelima berlomba dengan kemajuan teknologi digital, khususnya peningkatan kapasitas transistor pada integrated circuit yang menjadi otak perangkat lunak. Tidak aneh apabila F-35 kini mulai menjalani pemutakhiran perangkat lunak yakni Block 4, padahal penempur itu baru berdinas pada 2015 untuk versi B, 2016 bagi versi A dan 2019 untuk versi C.
Bagi Indonesia, kehadiran pesawat tempur generasi kelima dalam kekuatan pertahanannya pada era 2040-an merupakan sebuah kebutuhan sebab di masa itu jet tempur generasi keempat telah ketinggalan zaman. Di waktu yang sama, penempur generasi 4.5 juga harus menjalani fase pemutakhiran di saat nyaris tidak ada lagi pabrik pesawat terbang yang memproduksi jet generasi tersebut.
Yang menjadi tantangan bagi Indonesia adalah bagaimana mendapatkan jet tempur generasi kelima yang teruji (proven) secara teknologi dan bukan sekedar berdasarkan selera pengambil keputusan. Andaikata selera pengambil keputusan keputusan yang menjadi patokan dalam pemilihan penempur generasi kelima, tidak tertutup kemungkinan teknologi yang dikandung tidak teruji sehingga memunculkan resiko ke depan.
Akuisisi pesawat tempur generasi kelima melibatkan pertimbangan aspek strategis, militer, ekonomi dan industri. Aspek ekonomi ialah perkiraan life-cycle cost, termasuk biaya pengadaan, biaya pemeliharaan dan lain sebagainya.
Sebagai gambaran, dua pertiga dari harga sistem senjata masa kini, termasuk penempur generasi kelima, adalah life-cycle cost. Kalau mengacu pada F-35 Block 4, 80 persen biaya adalah untuk perangkat lunak dan 20 persen sisanya terserap bagi perangkat keras yaitu peningkatan kemampuan sistem pendorong.
Sedangkan unsur teknologi tercakup dalam aspek industri, di mana salah satu pembeda utama dengan jet tempur generasi-generasi sebelumnya ialah sangat dominannya peran perangkat lunak dalam pesawat tempur generasi kelima.
Sebagai gambaran, terdapat 2.5 juta baris kode program untuk mengendalikan sistem dan control surface, hampir 1 juta baris kode program untuk engine Pratt &Whitney F135 dan 6.5 juta baris kode guna mengendalikan sensor dan mengintegrasikan data pada F-35.
Pertanyaannya adalah apakah pengambil keputusan di Indonesia paham tentang peran fundamental perangkat lunak sehingga suatu pesawat tempur dapat diklasifikasikan sebagai generasi kelima? Lalu di mana peran industri elektronika pertahanan Indonesia jika Jakarta terlibat dalam program penempur generasi kelima atau membeli pesawat tempur itu?
Walaupun pesawat tempur, kapal perang dan tank tetap penting, akan tetapi kini yang lebih penting adalah kemampuan digital peralatan perang tersebut. Kemampuan sensor mendeteksi lawan, algoritma untuk memproses data, jaringan untuk menyebarkan informasi dan komando dan kendali untuk membuat keputusan adalah hal-hal kritis dalam metrik pertahanan suatu negara di era digital.
Pertanyaannya, apakah hal demikian telah dipahami oleh pengambil keputusan? Bila telah dipahami, apakah pemahaman tersebut diterjemahkan dalam bentuk program pembangunan pembangunan kekuatan?
Klaim bahwa Kaan buatan Turki adalah pesawat tempur generasi kelima belum bisa dibuktikan dari aspek teknologi, sebab tidak tersedia data dan informasi teknis yang bisa mendukung klaim tersebut. Bagaimana peran perangkat lunak dan seberapa besar peran perangkat lunak dalam pesawat tempur tersebut masih belum diketahui sampai saat ini.
Begitu pula dengan seberapa luas akses Turki untuk semikonduktor berkapasitas tinggi bagi aplikasi pertahanan masih menjadi pertanyaan, sebab akses tersebut praktis dikendalikan oleh beberapa negara tertentu saja. Amerika Serikat, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Belanda dan bahkan China tercakup dalam peta industri manufaktur semikonduktor global, sedangkan Turki tidak termasuk dalam peta tersebut.
Bila Indonesia memang tidak dapat mengakses F-35 sebagai pesawat tempur generasi kelima, opsi yang tersedia pada dekade mendatang selain Kaan adalah Korea Selatan. Dari aspek teknologi seperti perangkat lunak, Korea Selatan jauh lebih maju dan matang dibandingkan dengan Turki sebab industri elektronika negara itu menjadi salah satu penopang industri elektronika global.
Negara itu telah berpengalaman dalam pengembangan penempur generasi 4.5 di mana Indonesia terlibat dengan segala tantangan yang melingkupi. Dalam dekade 2030-an diperkirakan Korea Selatan akan mengembangkan sendiri penempur generasi kelima yang boleh jadi merupakan pengembangan dari KF-21.
Dalam urusan jet tempur generasi kelima, Indonesia hendaknya melakukan pengkajian secara seksama yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Tidak menjadi masalah bahwa kegiatan tersebut memakan waktu beberapa tahun, sebab kajian akan melibatkan aspek strategis, militer, ekonomi dan industri.
Kajian yang matang secara teori akan melahirkan keputusan yang matang dan berdasarkan beragam pertimbangan, termasuk isu teknologi. Lewat kajian itu pula dapat dihindarkan pengambilan keputusan yang hanya berdasarkan selera namun luput mempertimbangkan isu-isu teknis yang mempunyai implikasi jangka panjang.
(miq/miq)