Jakarta, CNBC Indonesia - Serangan udara Amerika Serikat (AS) terhadap tiga situs nuklir Iran menjadi eskalasi serius dalam konflik Timur Tengah. Investor pun khawatir Iran akan membalas dengan mengganggu lalu lintas minyak dan gas, khususnya di Selat Hormuz, yang mengalirkan 20% pasokan energi global.
Harga minyak Brent melonjak 10% sejak serangan Israel 13 Juni, menembus US$77 per barel. Ketegangan meningkat setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan keterlibatan langsung.
"Pasar jelas gelisah. Ini adalah jalur energi paling sensitif di dunia," ujar analis energi dari PVM Oil Associates, Tamas Varga, seperti dikutip Reuters pada Senin (23/6/2025).
Lalu apa saja fakta terbaru soal ini? Akankah "kiamat" atau kelangkaan minyak melanda bumi?
Foto: Peta selat hormuz laut merah. (Tangkapan Layar/cnbc.com)
Peta selat hormuz laut merah. (Tangkapan Layar/cnbc.com)
Secara teknis, Iran bisa saja menutup atau mengganggu Selat Hormuz. Dengan lebar hanya 55 km, selat ini rentan terhadap ranjau laut, penyitaan kapal, atau serangan IRGC.
Iran pun memiliki sejarah panjang melakukan tindakan semacam ini. Mulai dari "Perang Tanker" tahun 1980-an hingga penyitaan kapal Advantage Sweet tahun lalu, Iran terbukti punya kemampuan militer di perairan ini.
Namun, tiap aksi biasanya dibalas cepat oleh AS. Ini membatasi potensi guncangan berkepanjangan.
"Iran punya kemampuan, tapi tidak berarti akan sukses penuh. AS dan sekutunya siap merespons secara militer," jelas seorang analis militer Timur Tengah yang enggan disebutkan namanya.
2.Prediksi Goldman Sachs Jika Hormuz Terganggu
Dalam laporan terbaru, Goldman Sachs memperkirakan Brent bisa melonjak hingga US$110 per barel jika aliran minyak di Selat Hormuz berkurang 50% selama sebulan. Jika pemotongan pasokan Iran bertahan selama 6 bulan, Brent bisa stabil di kisaran US$90.
"Meskipun risiko tinggi, kami percaya semua pihak punya insentif ekonomi untuk mencegah gangguan besar dan berkepanjangan," tulis Goldman Sachs dalam laporan pasar hari Minggu.
Mereka juga menyebut pasar prediksi kini memperkirakan peluang 52% Iran menutup Hormuz pada 2025. Goldman juga meramal indeks gas Eropa TTF bisa naik mendekati 74 euro/MWh meski pasar gas AS diperkirakan tetap stabil karena ekspor LNG yang kuat dan rendahnya ketergantungan pada impor.
3.Gejolak Harga Minyak Tak Bertahan Lama?
Merujuk sejarahnya, sebenarnya pasar energi pernah terpukul saat Perang Teluk dan invasi Rusia ke Ukraina. Namun lonjakan harga biasanya bersifat sementara.
Salah satu contohnya saat invasi Irak ke Kuwait (1990), di mana harga minyak Brent naik dua kali lipat, tapi turun kembali dalam enam bulan. Pada Perang Irak 2003, harga naik jelang perang tapi segera turun setelah serangan dimulai.
Terbaru, pada invasi Rusia 2022, harga Brent sempat menyentuh US$130. Namun harga kembali ke US$95 dalam enam bulan.
"Lonjakan harga yang cepat justru menekan permintaan dan mempercepat koreksi pasar," kata analis dari PVM, Tamas Varga.
Dapat dikatakan, meskipun Selat Hormuz menjadi titik genting global, sejarah dan dinamika pasar menunjukkan bahwa guncangan pasokan bisa diredam dalam waktu relatif singkat. Intinya belum ada kiamat selat Hormuz.
"Pasar sangat sensitif terhadap simbol dan potensi eskalasi, tapi kita belum dalam skenario kiamat," ujar seorang ekonom energi dari IEA.
4.Jalur Alternatif Minyak?
Selat Hormuz diketahui menjadi jalur perdagangan penting minyak. Sekitar 20% melalui rute ini.
Pengekspor yang melewati wilayah ini, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) bisa mengalihkan ekspor lewat jalur pipa. Saat ini Arab Saudi punya pipa dari Abqaiq ke Laut Merah (kapasitas 5 juta bph, bisa ditingkatkan), sementara UEA memiliki pipa 1,5 juta bph menuju terminal Fujairah, di luar Selat Hormuz.
Namun, negara seperti Kuwait, Irak, dan Qatar tetap tergantung penuh pada selat ini. Selain itu, jalur darat juga tidak kebal terhadap gangguan dari kelompok proksi seperti Houthi di Yaman.
Perlu diketahui Iran sendiri adalah negara produsen minyak terbesar ketiga di OPEC, menghasilkan 3,3 juta barel per hari. Iran mengekspor 1,84 juta barel per hari bulan lalu.
5.Apakah Iran Benar-Benar Akan Ambil Langkah Ekstrem?
Iran punya dilema. Memblokir Hormuz juga akan memutus ekspor minyaknya sendiri.
Langkah itu bisa memperkuat aliansi militer Barat. Ini pun akan menggagalkan upaya diplomatik seperti negosiasi nuklir.
"Iran kemungkinan besar akan memilih retorika keras ketimbang aksi drastis," ujar analis politik Iran dari Tehran Policy Center, Mehdi Hosseini.
Meski begitu, kemarin parlemen Iran telah menyetujui penutupan selat tersebut. Namun kebijakan itu harus disetujui oleh Dewan Keamanan Nasional negeri itu.
(tfa/tfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 3 Kapal Tanker Tabrakan di Dekat Selat Hormuz, UEA Evakuasi Para Awak