Seorang remaja perempuan asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), membagikan pengalaman yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, hari pertama berkonsultasi ke psikiater, justru berakhir di rumah sakit jiwa (RSJ).
Perempuan bernama Maulida, atau akrab disapa May, baru berusia 18 tahun ketika didiagnosis depresi berat. Dalam unggahan viral di media sosial, ia menceritakan bagaimana keberaniannya untuk terbuka, justru menjadi awal perawatan intensif selama tiga hari di RSJ.
"Day one jujur ke psikiater, masuk RSJ," tulis May dalam konten viral yang diunggah di akun pribadinya, di TikTok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
May mengaku mengalami rasa cemas berlebihan, takut tanpa sebab, kesulitan tidur, bahkan sering melukai diri sendiri. Gejala tersebut ia rasakan hingga berbulan-bulan.
"Aku selalu ngerasa sendirian, nggak punya siapa-siapa, takut berlebihan, lagi tidur sering 'ketindihan', sering nyakitin diri sendiri, dan sulit banget ngucapin apa yang aku rasain," ceritanya.
Hingga suatu titik, ia menyadari perlu ada perubahan agar kondisinya tidak semakin memburuk. May tidak ingin terus berjalan di jalan keputusasaan.
Dengan dukungan keluarga, May mengunjungi poli jiwa setelah mendapat rujukan puskesmas. Momen pertama kali bertemu psikiater itu menjadi titik balik hidupnya.
Setelah menjalani tes MCMI (Millon Clinical Multiaxial Inventory), ia mendapat diagnosis depresi berat dan disarankan rawat inap selama tiga hari di RSJ setempat. Seluruh biaya ditanggung BPJS Kesehatan.
"Keluarga malah support. Dari kecil aku nggak bisa ungkapin perasaan, semua aku pendam. Pas cerita ke orang tua, mereka langsung saranin ke psikiater," kenang May, saat dihubungi detikcom, Selasa (5/8/2025).
Hari yang Dijalani di RSJ
Selama perawatan, May diobservasi menjalani pemeriksaan kesehatan mental, dan mendapat obat penenang untuk membantunya tidur nyenyak.
"Obatnya obat penenang biar aku cepat tidur," ungkapnya.
Perawatan belum selesai saat ia pulang. May masih harus kontrol rutin dan mengonsumsi obat antidepresan yang diberikan psikiater.
"Aku tetap dikasih obat setelah pulang ke rumah, dan mendapatkan saran untuk menyibukkan diri dengan membaca buku soal stoicism," ujarnya.
Sebagai catatan, stoicism adalah aliran filsafat yang mengajarkan ketenangan dan kebijaksanaan dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan, termasuk tantangan dan kesulitan.
"Alhamdulillah pikiran jadi lebih terbuka. Abis ini aku masih kontrol lagi," pungkasnya.
Soroti Lingkungan Toxic
May berpesan kepada anak muda yang mungkin mengalami hal serupa agar tidak meremehkan kecemasan dan rasa takut yang terus menumpuk.
"Jangan terlalu pendam sesuatu, karena dari situ ketakutan dan kecemasan menumpuk. Jangan takut menjauh dari lingkungan toxic, dan usahakan punya lingkungan yang baik buat kesehatan mental," kata May.
Ia menegaskan bahwa mencari pertolongan profesional, psikolog atau psikiater, adalah langkah penting sebelum kondisi memburuk.
Kasus May menjadi pengingat bahwa depresi berat bisa dialami siapa saja, termasuk remaja. Menurut data WHO, 1 dari 7 remaja di dunia mengalami masalah kesehatan mental, dan depresi menjadi salah satu yang paling umum.
Depresi bukan sekadar sedih berkepanjangan. Gejalanya bisa berupa:
- Kehilangan minat pada aktivitas yang dulu disukai
- Perasaan hampa atau tidak berharga
- Gangguan tidur (insomnia atau tidur berlebihan)
- Perubahan nafsu makan
- Pikiran untuk menyakiti diri sendiri
- Penanganan yang tepat dan dukungan lingkungan sangat berperan dalam pemulihan.
(naf/kna)