Jakarta -
Meninggalnya content creator Gusti Irwan Wibowo atau Gustiwiw belakangan menjadi sorotan. Gustiwiw mengembuskan napas terakhirnya di usia yang masih relatif muda yakni 25 tahun.
Kematian Gustiwiw juga terkesan mendadak saat semula dinilai masih dalam kondisi sehat dan aktif berkegiatan. Belakangan diketahui, pihak keluarga menyebut Gustiwiw memiliki riwayat hipertensi di usia muda, kondisi yang selama ini dikenal sebagai 'silent killer'.
Bukan tanpa sebab, penyematan 'diam-diam mematikan' di balik kondisi hipertensi dilatarbelakangi risiko komplikasi. Mereka dengan riwayat hipertensi sangat mungkin mengalami serangan jantung, stroke, sampai gagal ginjal tanpa menunjukkan gejala awal yang jelas. Meski insiden kasus hipertensi banyak terjadi di usia lanjut, generasi muda tak lantas bebas dari risiko.
Hal ini tergambar dari hasil cek kesehatan gratis (CKG) periode Februari hingga April 2025. Dari total sekitar 8 juta warga yang mengikuti CKG, sebanyak 6,3 persen peserta berusia 18 hingga 29 tahun mengalami hipertensi.
Satu dari 10 orang yang mengikuti CKG dari semua kelompok usia bahkan mengarah ke prehipertensi. Artinya, 'bakat' penyakit hipertensi relatif satu langkah lebih dekat karena sudah memiliki sejumlah faktor risiko. Faktor risikonya tak lain karena pola hidup yang sebetulnya bisa dikontrol.
Misalnya, mereka dengan lingkar perut berlebih atau obesitas sentral dua kali lipat. Bagi pria, hipertensi bisa menyerang saat ukuran perut melampaui 90 sentimeter. Lain halnya dengan wanita yang harus lebih ketat menjaga lingkar perut. Bila sudah di atas 80 sentimeter, risiko mengalami hipertensi mencapai 1,5 hingga dua kali lipat.
Mirisnya, obesitas sentral sebagai faktor hipertensi juga relatif tinggi di usia muda. Pada umur 18 hingga 29 tahun saja, angkanya mencapai 15 persen pada laki-laki. Pada perempuan bahkan lebih tinggi dua kali lipat yakni 36 persen, berdasarkan data CKG.
"Hipertensi, diabetes, dan obesitas adalah faktor risiko utama penyakit jantung dan stroke. Dan dua penyakit inilah penyebab kematian nomor satu dan dua di Indonesia," jelas Menkes dalam konferensi pers hasil CKG, Kamis (12/6/2025).
Hipertensi menjadi faktor risiko utama penyakit jantung dan stroke yang masih konsisten menyumbang beban terbanyak pembiayaan kesehatan RI dari tahun ke tahun.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Prof Ali Ghufron Mukti menyebut dalam 11 tahun terakhir total beban pembiayaan penyakit yang ditanggung mencapai 1.087,4 triliun rupiah. Terjadi peningkatan kasus signifikan dari tahun 2014 Rp 42,65 triliun, sementara pada 2024 mencapai Rp 174,90 triliun.
Rata-rata beban pembiayaan per hari sepanjang 2024 bahkan mencapai Rp 1,9 juta, dengan total Rp 700,42 juta per hari. Terbanyak masih digunakan untuk mengcover layanan terkait penyakit katastropik.
"Kasus jantung terbesar, menempati posisi di atas, lebih dari 70 persen dari total utilisasi," tandas Prof Ghufron dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, Senin (26/5).
Salah satu klasifikasi hipertensi yang banyak digunakan. Foto: infografis detikHealth
Kaya-Miskin Punya Risiko yang Sama
Dari SKI 2023, proporsi hipertensi hampir merata antara kelompok ekonomi rendah (30,5 persen) dan tinggi (33 persen). Artinya, hipertensi tidak hanya dialami oleh masyarakat miskin tetapi juga kelompok ekonomi yang lebih mampu.
Meski begitu, secara umum status sosial ekonomi rendah terbukti berkaitan dengan kejadian hipertensi di banyak studi, termasuk penelitian di desa Tambakrejo, Bojonegoro. Studi tersebut menunjukkan hubungan signifikan antara pendapatan rendah dan hipertensi serta pendidikan rendah dengan hipertensi.
Riset tersebut menyimpulkan kelompok ekonomi rendah lebih rentan terhadap hipertensi, kemungkinan karena keterbatasan akses pendidikan, fasilitas kesehatan, dan gaya hidup kurang sehat.
Temuan ini juga sejalan dengan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI 2023). Masyarakat berpendapatan rendah disimpulkan sering bekerja dalam kondisi informal atau fisik berat yakni petani, buruh kasar, yang meningkatkan stres fisik dan mental, ini meningkatkan risiko hipertensi.
Profesi terbanyak dengan hipertensi adalah petani/buruh tani dengan kisaran 103 ribu kasus, disusul wiraswasta 98 ribu kasus.
Sementara itu, mereka yang bekerja di sektor formal dengan penghasilan lebih tinggi mungkin memiliki tekanan mental (deadline, tanggung jawab), tetapi memiliki akses lebih baik ke layanan kesehatan dan gaya hidup lebih sehat terkait pola makan seimbang, cek kesehatan rutin.
Artinya, kombinasi usaha mengelola fisik maupun mental, kondisi kerja, akses kesehatan, dan tingkat status sosial ekonomi secara bersama-sama memengaruhi risiko hipertensi.
Rincian kasus hipertensi, mengacu ke status pekerjaan:
- Tidak bekerja 190.053
- Sekolah: 60.062
- PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD: 19.874
- Pegawai swasta: 72.773
- Wiraswasta: 97.402
- Petani/buruh tani: 102.975
- Nelayan: 5.107
- Buruh/sopir/pekerja rumah tangga: 51.619
- Lainnya: 38.313
NEXT: Sebaran kasus hipertensi
Wilayah dengan Kasus Hipertensi Terbanyak
Sesuai julukannya sebagai 'silent killer', hipertensi lebih sering tidak terdiagnosis. SKI 2023 menunjukkan prevalensi hipertensi pada penduduk umur lebih dari 15 tahun berdasarkan diagnosis dokter 8 persen dan berdasarkan pengukuran tekanan darah 29,2 persen.
Sementara prevalensi hipertensi pada penduduk umur lebih dari 18 tahun berdasarkan diagnosis dokter 8,6 persen dan berdasarkan pengukuran tekanan darah 30,8 persen. Keduanya konsisten menunjukkan hipertensi dari hasil diagnosis relatif rendah di usia muda.
"Terdapat celah pengetahuan status hipertensi di masyarakat, terjadi perbedaan lebih dari 20 persen antara prevalensi berdasarkan diagnosis dokter dan hasil pengukuran tekanan darah baik pada penduduk umur lebih dari 15 tahun maupun lebih dari 18 tahun," tutur Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, dr Siti Nadia Tarmizi, saat dihubungi Senin (16/6/2025).
Secara geografis, nyaris seluruh wilayah di Indonesia mencatat prevalensi hipertensi di atas 20 persen, terkecuali Papua Pegunungan 19,4 persen. DKI Jakarta mencatat prevalensi hipertensi di atas rata-rata Indonesia yakni 29,5 persen, meski tidak menjadi wilayah tertinggi dengan insiden kasus.
Rincian kasus hipertensi di generasi muda meliputi:
Di atas 15 tahun:
- Kalimantan Tengah (38,7 persen)
- Kalimantan Selatan (34,1 persen)
- Jawa Timur (32,8 persen).
Di atas 18 tahun:
- Kalimantan Tengah (40,7 persen)
- Kalimantan Selatan (35,8 persen)
- Jawa Barat (34,4 persen).
Merasa Sehat Bikin Malas Minum Obat
Sayangnya, SKI 2023 juga menunjukkan tingkat ketidakpatuhan mengonsumsi obat pasca hipertensi relatif tinggi, dengan sedikitnya lima faktor. Faktor terbanyak adalah merasa sehat, 62,8 persen orang dengan kondisi hipertensi merasa sehat dan tidak ingin meminum obat, terbanyak di Bali dan Jawa Tengah yang masing-masing mencatat di atas 70 persen.
Kedua terbanyak yakni bosan, malas, hingga lupa, sekitar 19 persen orang dengan hipertensi memilih tidak meminum obat karena alasan tersebut. Sisanya, disusul oleh memilih alternatif obat tradisional, tidak tahan dengan efek samping obat, hingga tidak ada obat yang tersedia atau masalah akses obat.
Padahal, mereka yang sudah terdiagnosis hipertensi, harus melakukan perubahan gaya hidup termasuk pola makan dan rutin mengonsumsi obat berdasarkan resep dokter.
Peneliti Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Iwan Ariawan, yang terlibat dalam hasil analisis CKG juga menekankan pentingnya tata laksana demikian, hingga preventif yang bisa dilakukan.
"Lakukan perubahan gaya hidup untuk mencegah tekanan darah tinggi, kurangi makanan atau minuman manis, asin, dan berlemak. Aktif bergerak olahraga seperti jalan, jogging, renang atau olahraga lain 30 menit dalam sehari," beber Iwan.
"Jika punya riwayat hipertensi, kontrol teratur dan minum obat walau merasa sehat," pesan dia.
Simak Video "Video Mitos atau Fakta: Batasi Konsumsi Garam Bisa Turunkan Tekanan Darah Tinggi"
[Gambas:Video 20detik]