Jakarta -
Michelle Theodora (25) di Jakarta Barat, membagikan pengalamannya sebagai seorang penyintas kanker darah yang kini menjadi psikolog. Perjalanan panjang harus ia lalui untuk bisa sembuh dan bisa mengembalikan hidupnya lagi.
Michelle menceritakan semuanya berawal pada tahun 2011, ketika ia masih berusia 11 tahun. Pada saat itu, ia merasakan gejala kelelahan yang tidak biasa. Bahkan disertai juga gejala nyeri di tulang.
Michelle awalnya tidak curiga apa-apa, lantaran mengira hanya mengalami kelelahan karena aktivitas belajar. Sampai pada suatu hari, ia terjatuh di sekolah ketika bermain dengan teman.
"Awalnya lagi main sama teman, daya tahan tubuhnya saat itu mungkin lagi kurang baik, lalu aku jatuh kesannya kayak kedorong, padahal nggak. Aku jatuh, terus kaki dan tangan aku bengkak," cerita Michelle ketika dihubungi detikcom, Rabu (18/6/2025).
Sejak saat itu, Michelle tidak bisa berjalan dan kesulitan berbaring. Michelle akhirnya dibawa ke rumah sakit untuk melakukan tes sampai akhirnya diketahui ia mengidap kanker darah Acute lymphocytic leukemia (ALL).
"Kondisi aku saat itu nggak bisa jalan, nggak bisa baring, nggak bisa duduk juga. Jadi kalau baring itu aku susah napas. Kalau duduk juga nggak bisa kalau tanpa sandaran," sambungnya.
Menurut Michelle, tipe leukemia yang diidapnya itu bersifat akut, dan membutuhkan waktu sekitar 2 tahun untuk pengobatan. Tapi, proses perawatan yang dijalaninya harus diperpanjang menjadi 4 tahun, karena ia mengalami relaps atau kekambuhan pada tahun 2013.
Perawatan pertama ia jalani di Jakarta, sedangkan perawatan lanjutan setelah relaps dilakukan di Singapura.
Ketika pertama kali didiagnosis pada 2011, Michelle mengaku awalnya sulit untuk menerima keadaan. Terlebih, pada saat itu usianya masih sangat belia, sehingga sulit untuk memproses kondisi medis yang tengah dialaminya.
Tapi, karena ia mendapatkan dukungan yang besar dari keluarga dan berusaha berpegang dengan Tuhan, ia tetap semangat menjalani pengobatan.
"Setiap hari mami aku berusaha membalikkan aku ke Tuhan. Jadi setiap hari tuh mamiku ajak aku doa lagi, ajar aku berharap, dengan baca firman-firman Tuhan," ceritanya.
"Akhirnya waktu itu, ada di satu titik, di mana aku sadar bahwa, dengan terus bertanya kenapa, terus marah-marah sama Tuhan, itu nggak membuat keadaan aku lebih baik, bahkan makin terpuruk. Makanya aku belajar, aku nggak mau peduli kenapa aku sakit, saat itulah aku fokus, mikirin apa yang bisa kulakukan di tengah proses," sambungnya.
Pada tahun 2015, setelah melewati lebih dari 100 kali kemoterapi dan 12 kali radiasi, ia menyelesaikan perawatan kankernya dan dinyatakan bersih dari kanker.
NEXT: Menjadi psikolog klinis
Michelle mengaku tidak pernah menyangka akan menjadi seorang psikolog. Pada tahun 2012-2017, ia sering membagikan kisah perjuangannya melawan kanker di komunitas-komunitas maupun gereja.
Tanpa disadari, rupanya ia menyukai hal tersebut. Ada banyak orang yang mungkin sebelumnya merasa sedih akibat berbagai masalah, menjadi lebih semangat dan terberkati setelah mendengar kisah Michelle.
Ketika berdoa, ia menemukan bahwa psikologi merupakan bidang studi yang harus ia tekuni. Michelle berharap ilmu tersebut dapat membuatnya bisa menolong lebih banyak orang yang membutuhkan bantuan.
"Dari berdoa, aku disadarkan aku punya passion di situ. Yaudah dari situ, aku ambil psikologi dan aku juga berharap nggak cuma bisa menolong mereka dari sisi spiritual, tapi juga bisa secara psikologis, secara sains untuk orang-orang yang membutuhkan," tandasnya.
Ia menyelesaikan pendidikan dalam 6,5 tahun di Universitas Tarumanegara Jakarta dan pada tahun 2025 resmi menjadi psikolog. Kini ia membuka praktik psikologi dan aktif membagikan konten seputar kesehatan mental di akun media sosialnya, @MichelleTheodoraa. Lewat media sosial, ia berharap bisa menjadi 'teman' bagi siapa pun yang kini sedang berjuang.
Ia juga membuka sesi mentoring gratis setiap Sabtu bagi mereka yang mengalami keterbatasan finansial, akses, atau belum berani untuk datang ke psikolog.