Kolegium dan Ancaman Terhadap Reformasi Kesehatan

2 weeks ago 21

Jakarta -

Setiap tahun, jutaan warga Indonesia dari kalangan menengah ke atas berobat ke luar negeri. Dana yang dihabiskan? Lebih dari Rp 170 triliun - uang yang semestinya bisa memperkuat sistem kesehatan dalam negeri.

Mirisnya, setelah hampir 80 tahun merdeka, Indonesia masih mengalami kekurangan dokter spesialis secara kronis. Bahkan, ada dokter senior dan guru besar yang justru merasa bangga menjadi satu-satunya ahli di bidang tertentu-tanpa niat menurunkan ilmunya atau melahirkan generasi penerus.

Akibatnya, sistem pendidikan kedokteran kita tertahan, tidak mencetak cukup tenaga ahli yang dibutuhkan masyarakat.

Sementara itu, alat kesehatan dan obat-obatan yang digunakan di banyak rumah sakit Indonesia tertinggal hingga 5-10 tahun dibanding negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam.

Padahal, dokter-dokter kita punya potensi luar biasa. Namun sayangnya, sistem pendukung seperti prosedur tindakan, kurikulum pendidikan, dan teknologi medis tertinggal jauh karena tidak diperbarui sesuai perkembangan zaman.

Apa penyebabnya? Salah satu masalah utamanya adalah peran dan kewenangan Kolegium dalam dunia kedokteran.

Apa Itu Kolegium, dan Mengapa Penting?

Kolegium adalah kumpulan para pakar dari setiap cabang ilmu kesehatan yang bertanggung jawab atas mutu, kurikulum, prosedur medis, hingga kompetensi dokter. Kolegium inilah yang menentukan prosedur tindakan medis apa yang boleh dilakukan dokter, standar obat dan alat medis yang digunakan, serta kualitas dokter yang akan diluluskan.

Artinya, kalau kelompok ini tertutup, stagnan, atau bahkan memiliki konflik kepentingan-maka seluruh sistem pelayanan kesehatan bisa ikut rusak. Bayangkan jika para pengurus Kolegium masih memaksakan prosedur dari 20-30 tahun lalu, hanya karena itu yang mereka pelajari dulu, meski dunia medis sudah berkembang jauh lebih maju.

Lebih parah lagi, jika ada oknum yang sudah lama memiliki hubungan dengan perusahaan farmasi atau produsen alat medis tertentu, maka bisa terjadi keberpihakan dalam menentukan obat yang 'diwajibkan' digunakan dokter, meski sudah ada alternatif yang lebih baik, lebih murah, dan lebih aman.

Negara Pernah Tak Bisa Mengawasi

Yang membuat situasi makin rawan adalah-selama bertahun-tahun, negara tidak punya wewenang untuk meminta pertanggungjawaban dari Kolegium. Tidak ada mekanisme untuk mengecek apakah mereka bekerja demi kemajuan ilmu atau demi kepentingan pribadi atau kelompok. Negara absen. Dan rakyat tak punya ruang untuk menggugat.

Namun, harapan muncul saat Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023 disahkan. Untuk pertama kalinya, negara memiliki kewenangan untuk membenahi sistem ini. Kolegium tidak lagi berada di bawah Organisasi Profesi (OP) yang cenderung tertutup dan dikendalikan oleh segelintir elit.

Kini, Kolegium menjadi bagian dari Konsil Kesehatan Indonesia (KKI)-lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, bukan kepada Kementerian Kesehatan ataupun OP.

Ancaman Balik Arah: Siapa yang Diuntungkan?

Sayangnya, sejak reformasi ini mulai berjalan pada Oktober 2024, muncul gelombang penolakan dari sejumlah tokoh senior kedokteran. Mereka menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), menuntut agar Kolegium dikembalikan ke struktur lama di bawah OP, dengan alasan 'independensi keilmuan'.

Tapi publik perlu waspada. Jika MK mengabulkan gugatan ini, maka negara akan kehilangan kembali haknya untuk mengawasi dan membina lembaga yang sangat penting ini.

Sistem kesehatan akan kembali dikendalikan oleh segelintir elit dokter yang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban, namun punya kuasa menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dokter dalam mengobati pasien.

Pertanyaannya: apakah mereka benar-benar independen? Atau justru semakin terbuka terhadap intervensi industri farmasi dan alat kesehatan?

NEXT: Jangan Sampai Reformasi Gagal di Tengah Jalan

Jangan Sampai Reformasi Gagal di Tengah Jalan

Kita tidak boleh tertipu oleh jargon 'independensi keilmuan' jika kenyataannya yang terjadi adalah 'imunitas tanpa akuntabilitas'. Bila reformasi ini gagal, maka Indonesia bisa menjadi satu-satunya negara di dunia di mana layanan kesehatan rakyatnya sebagian besar ditentukan oleh kelompok tertutup yang tidak dapat diawasi negara, namun justru terbuka terhadap kepentingan bisnis dan tidak independen dari pengaruh perusahaan obat dan alat medis.

Reformasi baru saja dimulai. Jangan biarkan ia kandas karena tekanan dari kelompok-kelompok yang selama ini nyaman berada di menara gading kekuasaan tanpa kontrol.

Perjuangan membenahi sistem kesehatan bukan hanya urusan para ahli, tapi juga urusan seluruh rakyat Indonesia yang berhak mendapatkan pelayanan yang berkualitas, transparan, dan bebas dari kepentingan tersembunyi.

Mari jaga arah reformasi ini bersama-sama agar cita cita bangsa dan negara menuju Indonesia Emas di tahun 2045 bisa terwujud. Kesehatan rakyat adalah tanggung jawab negara. Jangan serahkan kepada segelintir elit dokter sehingga muncul kembali 'negara dalam negara'.


Catatan redaksi: Penulis merupakan dokter yang juga pemerhati reformasi kesehatan Indonesia.

Simak Video "Video: Anggota DPR Soroti Komunikasi Menkes-IDAI soal Polemik Kolegium"
[Gambas:Video 20detik]

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |