Jakarta, CNBC Indonesia- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akhirnya mengumumkan besaran tarif impor untuk barang dari Indonesia yang masuk ke negara tersebut, yakni sebesar 19%, lebih rendah dari sebelumnya yang dipatok 32%.
"Mereka akan membayar 19% dan kami tidak akan membayar apapun ... kami akan memiliki akses penuh ke Indonesia, dan kami memiliki beberapa kesepakatan yang akan diumumkan," kata Trump, Selasa (15/7/2025), dilansir Reuters.
Kebijakan ini langsung memunculkan pertanyaan besar: benarkah harga pangan bisa lebih murah? Dan lebih menguntungkan mendatangkan pasokan dari Amerika Serikat atau tetap bertumpu pada Australia yang jaraknya lebih dekat?
Kesepakatan ini merupakan bagian dari paket dagang jumbo, di mana Indonesia berkomitmen membeli produk pertanian AS, termasuk kedelai, senilai US$4,5 miliar. Sebagai imbalannya, Washington menurunkan tarif impor RI ke AS menjadi 19% dari sebelumnya 32%, sementara Indonesia membuka lebar akses untuk produk pertanian Negeri Paman Sam.
Namun, efektivitas tarif 0% ini tak sesederhana hitung-hitungan kertas. Sebab, sebelum kesepakatan baru, struktur tarifnya sudah relatif rendah.
Data World Integrated Trade Solution (WITS) mencatat bahwa, kedelai benih (HS 120110) memang sudah tarif 0% sejak 2022. Jadi, kebijakan baru ini tak memberi dampak langsung pada harga kedelai konsumsi seperti tempe atau tahu.
Namun yang dikenakan tarif tinggi adalah produk turunan kedelai, seperti minyak kedelai mentah (HS 150710) dengan tarif 19,1% dan minyak kedelai olahan (HS 150790) sekitar 9,55%. Nah, penghapusan tarif di kategori ini akan signifikan menurunkan biaya impor.
Untuk tepung gandum (HS 110100), tarifnya hanya 1,13% relatif kecil. Jadi saat turun jadi 0%, efek pada harga juga terbatas.
Dengan kata lain, tarif 0% hanya benar-benar berdampak pada bungkil/minyak kedelai yang menjadi bahan baku pakan ternak dan industri olahan, bukan pada kedelai pangan langsung.
Meski tarif dari AS kini 0%, persoalan logistik tetap jadi faktor utama bagi gandum.
Australia adalah pemasok utama gandum Indonesia. Letaknya dekat, ongkos kirim lebih rendah, dan waktu pengiriman lebih cepat. Data BPS menunjukkan lebih dari 60% impor gandum RI masih berasal dari Australia, bukan AS.
Berbeda dengan gandum, 90% kebutuhan kedelai Indonesia memang diimpor dari AS, sekitar 2,5-2,6 juta metrik ton per tahun menurut USDA. Jadi tarif 0% di produk turunan kedelai jelas menguntungkan.
Jadi, kalau bicara gandum, Australia masih kompetitif meski tarif AS nol. Sementara untuk kedelai, AS memang tak punya pesaing serius
Efek di harga tahu-tempe kemungkinan tetap stabil, karena bahan baku utama (kedelai benih) sudah lama nol tarif. Yang mungkin terasa adalah harga pakan ternak atau produk olahan berbasis minyak kedelai yang turun.
Untuk gandum, harga mie instan atau roti juga tak banyak berubah karena tarif sebelumnya sudah sangat kecil. Fluktuasi harga global yang dipengaruhi panen, cuaca, dan perang lebih dominan ketimbang tarif.
Artinya, tarif 0% ini lebih strategis untuk memperkuat hubungan dagang RI-AS dan mendukung industri olahan, bukan sekadar menurunkan harga tempe di warung.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)