Jakarta, CNBC Indonesia - Perang antara Israel dan Iran kian memanas. Serangan bertubi-tubi dari kedua pihak menyebabkan kerusakan parah dan telah merenggut banyak nyawa.
Kendati demikian, organisasi media dan jurnalis di Israel dibatasi untuk menyiarkan informasi tertentu terkait perang. Hal ini tertulis dalam surat edaran dari badan sensor militer Israel.
Brigadir Jenderal Kobi Mandelblit mengumumkan peraturan baru tentang apa diizinkan dan dilarang untuk dipublikasikan organisasi media dan jurnalis Israel di negara tersebut tentang dampak serangan Iran, dalam surat edaran yang disebar pada Rabu (18/6) pekan ini, dikutip dari Aljazeera, Jumat (20/6/2025).
Sebagai konteks, penyensoran media di Israel bukan hal baru. Pembatasan kebebasan media di negara Zionis tersebut pertama kali ditetapkan oleh Inggris dalam mandat untuk Palestina pada tahun 1945.
Tiga tahun kemudian, regulasi penyensoran dimasukkan ke dalam hukum Israel ketika terbentuk sebagai entitas negara.
Namun, pembatasan kebebasan pers di Israel lebih dari sekadar pelarangan aspek pelaporan jurnalis.
Menurut data dari Federasi Jurnalis Internasional (IFJ), Israel telah menewaskan sedikitnya 164 jurnalis di Gaza sejak 7 Oktober 2023. Lebih banyak lagi yang terbunuh di Lebanon, wilayah Tepi Barat yang telah diduduki, dan sekarang Iran.
Sejak Mei 2024, pemerintah Israel telah melarang Al Jazeera dari wilayahnya. Selanjutnya pada November 2024, Israel memberikan sanksi kepada harian liberal Haaretz atas liputannya yang dianggap kritis terhadap tindakan pemerintah.
Peraturan baru Israel terhadap gerak-gerik media dan jurnalis secara khusus terkait dengan perang melawan Iran. Peraturan tersebut memberikan pembatasan khusus terhadap cara jurnalis dan editor melaporkan dampak serangan Iran terhadap Israel.
Dalam surat edaran berjudul 'Rising Lion - Pedoman Sensor IDF untuk Liputan Media tentang Serangan di Front Dalam Negeri Israel', kantor kepala sensor militer Israel memerintahkan editor untuk mengambil tindakan tegas saat jurnalis melaporkan serangan rudal dan pesawat drone.
Sensor juga memperingatkan agar tidak melaporkan apa pun yang dapat menunjukkan posisi serangan atau operasi pertahanan udara, atau penilaian kerusakan yang dapat membantu musuh dan menimbulkan ancaman nyata bagi keamanan negara.
Berikut poin-poin pelarangan secara khusus bagi media dan jurnalis Israel, dikutip dari Aljazeera:
- Memfilmkan atau menyiarkan gambar dari lokasi terdampak perang, terutama di dekat instalasi militer.
- Menggunakan pesawat drone atau kamera sudut lebar untuk menunjukkan area terdampak serangan Iran.
- Memberikan perincian lokasi pasti area yang terkena dampak serangan di dekat instalasi keamanan.
- Menyiarkan gambar rudal Israel yang diluncurkan atau rudal Iran yang dicegat.
Perintah tersebut juga melarang berbagi video dari media sosial tanpa peninjauan. Pembatasan baru tersebut berlaku segera setelah surat edaran disebar.
Fotografer di kota pelabuhan Haifa ditangkap pada Selasa (17/6) dini hari saat memasang kamera untuk menangkap gambar potensi serangan di pelabuhan.
Penyensoran yang Selama Ini Berlaku di Israel
Jurnalis dan editor sebelumnya sudah menghadapi penyensoran gila-gilaan dari pemerintah. Organisasi media diharuskan untuk menyerahkan artikel apa pun yang dapat menyinggung keamanan Israel kepada tim sensor militer untuk mendapatkan persetujuan sebelum dipublikasikan.
Berdasarkan peraturan yang berlaku, penyensor memiliki kewenangan untuk menghentikan penerbitan artikel apa pun jika terdeteksi bisa membawa ancaman bagi keamanan nasional Israel.
Namun, penyensor tidak boleh membatasi artikel atau laporan dengan alasan isi berita dapat merusak reputasi oknum tentara Israel atau politisi negara tersebut.
Pada tahun 2023, pembatasan ketat Israel ditingkatkan melalui amandemen undang-undang antiterorisme negara tersebut. Aturan itu memungkinkan hukuman bagi mereka yang secara sistematis dan terus-menerus mengonsumsi publikasi teroris atau yang menyiarkan seruan langsung untuk melakukan tindakan terorisme.
Menurut organisasi kebebasan media, seperti Index on Censorship, bahkan sebelum pembatasan baru pada pelaporan konflik Iran diperkenalkan, definisi penyensoran tentang "masalah keamanan" sangat luas dan subjektif.
Topiknya beragam, seperti tentara, badan intelijen, transaksi senjata, tahanan administratif, aspek urusan luar negeri Israel, dan banyak lagi.
Jurnalis, penerbit, atau kelompok media mana pun dapat mengajukan banding atas keputusan sensor ke Mahkamah Agung, yang berwenang membatalkan keputusannya.
Penyensoran sudah menjadi makanan sehari-hari bagi media Israel. Pada Mei lalu, majalah Israel-Palestina, +972, melaporkan tentang peningkatan sensor media yang belum pernah terjadi sebelumnya, sejak dimulainya perang di Gaza.
Menurut majalah tersebut, sepanjang tahun 2024, sensor militer Israel memblokir sepenuhnya 1.635 artikel agar tidak diterbitkan dan memberlakukan pembatasan sebagian pada 6.265 artikel lainnya.
Artinya, rata-rata ada sekitar 21 intervensi dalam berita yang dipublikasikan setiap harinya. Angka itu 2 kali lipat lebih banyak dibandingkan penyensoran harian tertinggi selama konflik Gaza 2014, yakni sekitar 10 intervensi per hari.
Menurut Indeks Kebebasan Pers Dunia Reporters Sans Frontieres (RSF), Israel saat ini berada di peringkat ke-112 dari 180 negara dalam hal kebebasan pers. Israel berada di bawah Haiti, Guinea Bissau, Sudan Selatan, dan Chad.
"Kebebasan pers, pluralitas media, dan independensi editorial makin dibatasi di Israel sejak dimulainya perang di Gaza, yang dilancarkan oleh Israel pada 7 Oktober 2023 setelah serangan mematikan Hamas," menurut pernyataan RSF.
RSF juga mencatat pentingnya koneksi politik dalam memilih pimpinan badan pengatur penyiaran Israel. Hanya jaringan yang sangat pro-pemerintah, seperti Channel 14 Israel, yang umumnya dipilih untuk menyelenggarakan wawancara dengan tokoh-tokoh senior.
(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]