Jakarta -
Stephania, seorang wanita di Bandung membagikan pengalamannya yang berjuang melawan penyakit skizofrenia katatonik. Kondisi tersebut pertama kali didiagnosis saat dirinya berusia 26 atau 27 tahun di 2018.
Wanita yang akrab disapa Thepi itu awalnya mengalami gejala mirip stroke, tak bisa berbicara, lumpuh, kaku, hingga tak bisa merespons siapapun selama hampir 40 menit. Imbas hal tersebut, ia langsung dilarikan ke salah satu rumah sakit di Jakarta untuk mendapatkan penanganan hingga pemeriksaan lebih lanjut, seperti rontgen otak.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, Thepi dinyatakan mengidap skizofrenia katatonik, salah satu jenis skizofrenia yang menyerang kemampuan gerak tubuh atau fungsi motorik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Aku tuh mengidap skizofrenia tapi masih di fase yang katatonik, jadi kan sebenarnya skizofrenia itu ada beberapa tahapan. Salah satunya tuh katatonik tuh nyerangnya ke fisik," ucapnya kepada detikcom, Minggu (25/5/2025).
Adapun gejala yang dialaminya tidak hanya gangguan fisik seperti tremor dan kekakuan, tetapi juga gangguan psikologis. Wanita yang kini berusia 33 tahun itu mengaku merasa takut secara terus-menerus, tidak bisa sendiri, serta merasa cemas saat berada di tengah keramaian.
Bahkan dalam rentang waktu dua bulan, ia sempat berpindah tempat tinggal hingga tujuh kali. Hal ini dikarenakan Thepi mengaku merasa seolah diawasi, dikejar oleh 'sesuatu' yang tidak terlihat, dan percaya ada kamera tersembunyi di kamarnya.
Thepi juga mengalami gejala seperti tertawa tanpa kendali di tempat umum, termasuk di kantor. Ia tidak bisa menghentikannya, bahkan sampai meneteskan air mata.
"Sampai keluar air mata karena nangis, karena memang sebenarnya nggak mau ketawa tapi refleks Itu kalau kayak gitu," imbuhnya lagi.
Rasa takut yang terus menghantuinya membuat kondisinya semakin memburuk, terlebih dokter menilai Thepi sudah masuk ke tahap paranoia. Ia pun menjalani perawatan intensif di rumah sakit selama hampir tiga bulan. Setiap minggu, Thepi harus menginap selama beberapa hari untuk menjalani observasi dan terapi.
"Dan pada saat itu salah satu terapi yang disarankan sama dokter adalah beliau nanya ke aku, aku sukanya apa. Waktu luang sukanya diisi sama apa selain membaca. Terus aku bilang, aku seneng nulis, aku seneng gambar. Jadi pada saat itu, aku difasilitasi cat air," ucapnya lagi.
Selain menjalani pengobatan medis, Thepi juga disarankan untuk mengikuti sesi konseling dengan psikolog. Hal itu bertujuan agar ia bisa mengetahui pemicu atau trigger dari kondisi yang dialaminya.
NEXT: Apa pemicunya?
Dugaan Pemicunya
Menurut Thepi, saat berdiskusi dengan terapis, kondisinya kemungkinan berkaitan dengan kebiasaan yang ia lakukan di usia 20-an. Ia mengaku pernah rutin mengonsumsi alkohol, yang diduga turut berdampak negatif pada kesehatan mentalnya.
Selain itu, Thepi juga terbiasa memendam emosinya sejak lama. Menurutnya, selama bertahun-tahun ia kerap menahan emosi dan tidak mampu mengekspresikannya. Imbas hal tersebut, tubuhnya mulai memberi sinyal kelelahan karena terus menanggung beban emosional yang dipendam.
"Makanya si skizofrenianya larinya ke fisik pada saat itu yang pertama," ucapnya lagi.
Di tengah perjuangannya menghadapi skizofrenia, Thepi juga dihadapkan pada ketidaksiapan keluarganya dalam menerima kondisi tersebut. Ketika Thepi mencoba menjelaskan apa yang dialaminya, keluarganya justru mengira ia mengalami gangguan karena santet.
"Jadi sempat aku dibawa dulu pulang ke Kupang, Pas di Kupang aku kayak kalau di muslim itu kayak ruqyah. Sampai akhirnya situasi kayak makin parah, aku dibawa ke rumah sakit jiwa yang di Kupang. Dokternya menjelaskan bahwa ini tuh ada situasi medis. Keluarga dari situ keluarga mulai tahu, mulai aware lah," katanya lagi.
Pada 2020, kondisinya mulai membaik dan stabil. Ia kembali bisa bekerja dan beraktivitas seperti biasa. Atas izin dokter, ia mulai menghentikan konsumsi obat secara bertahap.
Meski sudah stabil, Thepi mengakui sesekali gejala tersebut masih bisa muncul dalam situasi tertentu. Ia pernah mengalami kekakuan tubuh saat panik, atau melihat hal-hal yang tidak nyata. Namun, berbeda dari dulu, kini ia mampu mengenali dan mengendalikan respons tubuhnya.
"Aku kan juga pada saat itu diajar terapi napas, diajarin untuk gimana caranya mengenal badan kalau lagi dalam situasi yang triggering," imbuhnya lagi.