Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengungkapkan, terjadinya perubahan pola konsumsi masyarakat dari belanja fisik ke digital, serta dari belanja bulanan ke harian, telah berdampak langsung pada turunnya okupansi pusat perbelanjaan. Fenomena ini, menurutnya, menjadi tantangan sekaligus peluang bagi sektor ritel untuk bertransformasi.
"Kalau kita lihat ya, pola konsumsi masyarakat kan selalu berbeda. Itu di mana saja, di Indonesia atau di negara lain," kata Budi dalam Economic Update CNBC Indonesia, dikutip Jumat (20/6/2025).
Budi menyampaikan, penggunaan e-commerce di kalangan penduduk usia produktif terus meningkat. Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), saat ini tercatat 33,3% penduduk usia produktif di Indonesia telah menggunakan layanan e-commerce, atau naik 12% dibanding tahun lalu yang mencapai sekitar 58,7 juta orang. Selain itu, sebesar 37,7% dari total aktivitas perdagangan di Indonesia kini telah berpindah ke platform digital.
"Digitalisasi ini sebuah keniscayaan. Kita tidak bisa menghindar dari itu," ujarnya.
Namun, tren tersebut membawa konsekuensi. Tingkat okupansi pusat perbelanjaan turun dari 88% pada 2023 menjadi 80% pada 2024. Beberapa penyebab utamanya adalah perubahan kebiasaan konsumen yang kini lebih memilih belanja online, dan sering berbelanja harian atau seperlunya saja, serta cenderung memilih ritel yang dekat dengan tempat tinggal.
"Kalau ritel besar itu hanya menyediakan atau hanya tempat untuk belanja, maka dia akan ditinggalkan. Orang akan beralih ke online," terang dia.
Transaksi Tetap Tinggi tapi Berpindah
Untuk merespons situasi ini, Kementerian Perdagangan menggandeng asosiasi ritel dan pusat perbelanjaan seperti Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), dan Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) dalam mendorong transformasi sektor ritel menuju model hybrid, yaitu menggabungkan layanan fisik dan digital.
"Salah satu konsepnya adalah pengembangan ritel hybrid. Bahwa ritel fisik tetap ada, tetapi mereka juga bisa melayani secara online," jelasnya.
Budi menekankan, digitalisasi tak hanya difokuskan pada ritel modern, tapi juga menyasar pasar rakyat dan toko kelontong. Program digitalisasi dan revitalisasi pasar rakyat mencakup, pelatihan pembayaran elektronik, pelayanan daring, serta penataan sistem pengelolaan toko.
"Nah kalau dilihat, banyak di pasar rakyat itu kelihatan sepi. Tapi sebenarnya transaksinya besar. Karena berpindah," ungkap dia.
Transformasi ini, menurut Budi, merupakan bagian dari proses transisi seperti yang pernah terjadi saat awal kemunculan ritel modern. Dulu sempat muncul kekhawatiran bahwa toko tradisional akan tersisih, namun hal itu berhasil diatasi lewat kemitraan antara ritel besar dan kecil.
"Pola kemitraannya adalah bagaimana mereka saling membantu, saling support. Misalnya, ritel kelontong justru dapat support bahan-bahan dari ritel modern, terutama untuk menjangkau ke daerah-daerah yang tidak ada ritel modernnya," terang Budi.
Adapun kini, lanjutnya, kolaborasi antara ritel modern dan tradisional telah berkembang hingga ke aspek manajemen dan pelatihan.
"Ritel modern ngajarin bagaimana berjualan dengan baik, manajemennya, termasuk keuangannya. Nah sekarang mereka tidak saling bersaing lagi. Tapi bersinergi satu dengan yang lain. Jadi, ini sebenarnya kan masalah transisi," pungkasnya.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]