Jakarta -
Seorang wanita di Bandung bernama Stephania membagikan kisahnya yang mengidap kondisi skizofrenia katatonik. Wanita yang saat ini berusia 33 tahun itu didiagnosis kondisi tersebut di tahun 2018.
Hal ini bermula saat Thepi, sapaannya, menyadari ada yang janggal dengan kondisinya. Tubuhnya mendadak lumpuh, kaku, tidak mampu berbicara dan tak bisa merespons siapa pun selama hampir 40 menit. Kejadian itu membuatnya harus dilarikan ke salah satu rumah sakit di Jakarta untuk mendapatkan penanganan medis.
Di rumah sakit tersebut, Thepi menjalani serangkaian pemeriksaan, termasuk rontgen otak. Dari hasil evaluasi medis dan wawancara mendalam, dokter menyimpulkan Thepi mengidap skizofrenia katatonik, salah satu jenis skizofrenia yang menyerang kemampuan gerak tubuh atau fungsi motorik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Aku tuh mengidap skizofrenia tapi masih di fase yang katatonik, jadi kan sebenarnya skizofrenia itu ada beberapa tahapan. Salah satunya tuh katatonik tuh nyerangnya ke fisik," ucapnya kepada detikcom, Minggu (25/5/2025).
Setelah mendapatkan pengobatan, Thepi mengaku merasakan perubahan pada tubuhnya. Gejala yang ia alami tidak hanya terbatas pada gangguan fisik seperti tremor dan kekakuan otot, tetapi juga gangguan psikologis.
Ia merasa takut secara terus-menerus, tidak bisa sendiri, serta merasa cemas saat berada di tengah keramaian.
"Dan aku dulu dalam sebulan, dua bulan tuh, dulu aku masih tinggal di Jakarta. Tapi dalam waktu dua bulan tuh aku pindah kosan bisa sampai tujuh kali. Jadi aku sempat pindah-pindah kosan, terus karena pada saat itu aku mikirnya tuh kayak sedang diikutin orang," ucapnya lagi.
Thepi juga sempat mengalami episode aneh lainnya, seperti tertawa tanpa kendali di tempat umum, termasuk di kantor. Ia tidak bisa menghentikannya, bahkan sampai meneteskan air mata. Padahal, sebenarnya ia tidak ingin tertawa. Ia menduga hal itu terjadi karena memaksakan diri untuk terus bekerja meskipun tubuh dan pikirannya sedang tidak dalam kondisi kelelahan.
Menurut Thepi, dokter saat itu menilai dirinya telah memasuki tahap paranoia. Kondisinya pun semakin memburuk hingga ia kesulitan untuk bekerja. Ia pun menjalani perawatan intensif di rumah sakit selama hampir tiga bulan. Setiap minggu, Thepi harus menginap selama beberapa hari untuk menjalani observasi dan terapi.
"Dan pada saat itu salah satu terapi yang disarankan sama dokter adalah beliau nanya ke aku, aku sukanya apa. Waktu luang sukanya diisi sama apa selain membaca. Terus aku bilang, aku seneng nulis, aku seneng gambar. Jadi pada saat itu, aku difasilitasi cat air," ucapnya lagi.
Aktivitas menggambar dan menulis perlahan membantu pemulihannya. Pada 2020, kondisinya mulai membaik dan stabil. Ia kembali bisa bekerja dan beraktivitas seperti biasa. Atas izin dokter, ia mulai menghentikan konsumsi obat secara bertahap.
NEXT: Dikira kena santet
Sempat Dikira Kena Santet oleh Keluarga
Di tengah perjuangannya melawan skizofrenia, ia juga harus berhadapan dengan ketidaksiapan keluarga dalam menerima kondisinya. Keluarga yang konservatif dan berlatar belakang Katolik dari wilayah timur Indonesia awalnya tidak memahami apa yang dialami Thepi. Ketika ia mencoba menjelaskan, keluarganya justru mengira ia terkena santet.
"Jadi sempat aku dibawa dulu pulang ke Kupang, Pas di Kupang aku kayak kalau di muslim itu kayak ruqyah. Sampai akhirnya situasi kayak makin parah, aku dibawa ke rumah sakit jiwa yang di Kupang. Dokternya menjelaskan bahwa ini tuh ada situasi medis. Keluarga dari situ keluarga mulai tahu, mulai aware lah," katanya lagi.
Thepi juga mengaku sempat merasakan seolah ada 'orang lain' di dalam dirinya. Ia tidak yakin apakah itu bagian dari delusi atau gejala skizofrenia yang berhubungan dengan gangguan persepsi terhadap realitas. Namun, perasaan itu begitu nyata, hingga saat ia dibawa ke orang pintar, ia bahkan sempat mengutarakan bahwa dirinya merasa ditempati oleh sosok lain.
Kini, meskipun sudah jauh lebih stabil, Thepi mengakui bahwa sesekali gejala tersebut masih bisa muncul dalam situasi tertentu. Ia pernah mengalami kekakuan tubuh saat panik, atau melihat hal-hal yang tidak nyata. Namun, berbeda dari dulu, kini ia mampu mengenali dan mengendalikan respons tubuhnya.
Sempat Dikira Kena Santet oleh Keluarga
Di tengah perjuangannya melawan skizofrenia, ia juga harus berhadapan dengan ketidaksiapan keluarga dalam menerima kondisinya. Keluarga yang konservatif dan berlatar belakang Katolik dari wilayah timur Indonesia awalnya tidak memahami apa yang dialami Thepi. Ketika ia mencoba menjelaskan, keluarganya justru mengira ia terkena santet.
"Jadi sempat aku dibawa dulu pulang ke Kupang, Pas di Kupang aku kayak kalau di muslim itu kayak ruqyah. Sampai akhirnya situasi kayak makin parah, aku dibawa ke rumah sakit jiwa yang di Kupang. Dokternya menjelaskan bahwa ini tuh ada situasi medis. Keluarga dari situ keluarga mulai tahu, mulai aware lah," katanya lagi.
Thepi juga mengaku sempat merasakan seolah ada 'orang lain' di dalam dirinya. Ia tidak yakin apakah itu bagian dari delusi atau gejala skizofrenia yang berhubungan dengan gangguan persepsi terhadap realitas. Namun, perasaan itu begitu nyata, hingga saat ia dibawa ke orang pintar, ia bahkan sempat mengutarakan bahwa dirinya merasa ditempati oleh sosok lain.
Kini, meskipun sudah jauh lebih stabil, Thepi mengakui bahwa sesekali gejala tersebut masih bisa muncul dalam situasi tertentu. Ia pernah mengalami kekakuan tubuh saat panik, atau melihat hal-hal yang tidak nyata. Namun, berbeda dari dulu, kini ia mampu mengenali dan mengendalikan respons tubuhnya.