Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Ketegangan geopolitik di Timur Tengah yang dipicu konflik Iran-Israel kini mengancam stabilitas energi global. Salah satu potensi eskalasi yang paling mengkhawatirkan adalah kemungkinan ditutupnya Selat Hormuz oleh Iran, sebuah jalur maritim strategis yang dilalui sekitar 17 juta barel minyak mentah per hari dan lebih dari 25% ekspor LNG dunia.
Bagi Indonesia, meski bukan pihak dalam konflik, dampaknya sangat nyata. Negara ini masih mengimpor lebih dari 6 juta metrik ton LPG per tahun, atau sekitar 72% dari total kebutuhan domestik.
Ketergantungan terhadap impor energi-khususnya LPG-membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga dan pasokan di pasar global. Pada tahun 2022, beban subsidi LPG mencapai Rp117 triliun, dan berpotensi meningkat jika krisis energi kembali memburuk.
Ketahanan Energi: Momentum Afirmasi Kebijakan
Ketahanan energi seharusnya tidak lagi dipandang semata-mata dari aspek pasokan, melainkan sebagai bagian dari kedaulatan nasional. Di tengah ancaman global, penguatan infrastruktur energi-khususnya gas alam dan LNG-adalah prioritas strategis.
Pemerintah patut diapresiasi atas terealisasinya pembangunan Pipa Gas Cirebon-Semarang (CISEM) Tahap I sepanjang 62 km yang kini mengalirkan gas ke kawasan industri di Jawa Tengah. Langkah ini merupakan awal penting dalam membangun konektivitas infrastruktur gas di Pulau Jawa.
Tahap II proyek CISEM, yang menghubungkan Semarang hingga Batang dan kawasan industri lainnya, diharapkan segera dituntaskan agar distribusi gas lebih merata dan berkelanjutan.
Selain itu, proyek-proyek PSN seperti pipa DUSEM (Dumai-Sei Mangkei) harus terus didorong, karena berpotensi menghubungkan cadangan gas dari Sumatra ke pusat-pusat industri domestik. Jika infrastruktur ini terintegrasi, Indonesia bisa mengurangi ekspor LNG berlebih dan mengalihkannya ke pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Perlu Reformasi Tata Niaga dan Kepastian Harga
Di sisi hilir, tata kelola LNG dan gas non-pipa masih belum efisien. Banyak pelaku usaha menghadapi hambatan birokrasi yang berlapis-lapis, dari SKK Migas hingga BPH Migas dan pemerintah daerah. Dibutuhkan penyederhanaan regulasi agar sistem niaga gas lebih transparan, cepat, dan menarik bagi investor.
Harga LNG domestik juga harus dirancang lebih kompetitif dibandingkan LPG impor, agar industri dan rumah tangga memiliki insentif kuat untuk beralih. Skema harga dan pasokan jangka panjang perlu difasilitasi pemerintah, termasuk dengan memberikan insentif fiskal dan non-fiskal bagi pengembang infrastruktur LNG seperti FSRU, mini LNG plant, dan micro-regasification.
Ajakan kepada Dunia Usaha
Saya mengajak pelaku usaha energi, logistik, dan industri untuk berperan aktif dalam membangun ekosistem LNG nasional. Tidak hanya sebagai pengguna, tapi juga sebagai investor, operator, dan mitra pemerintah.
Penggunaan LNG di sektor transportasi logistik, pembangkit lepas pantai, dan kawasan industri 3T (tertinggal, terdepan, terluar) adalah contoh langkah konkret yang bisa dimulai sekarang. ASPEBINDO siap menjadi enabler bagi pelaku usaha untuk masuk ke sektor ini-melalui advokasi kebijakan, penyusunan proyek bankable, hingga kolaborasi lintas sektor.
Dari Ketergantungan Menuju Kemandirian
Indonesia tidak kekurangan sumber daya. Yang dibutuhkan adalah arah kebijakan yang afirmatif, konsisten, dan terintegrasi. LNG dan gas bumi adalah solusi nyata untuk keluar dari ketergantungan impor LPG dan menghadapi ancaman geopolitik global.
Kedaulatan energi bukan hanya soal sumber daya, tapi tentang pilihan politik dan keberanian bertindak. Mari kita wujudkan Indonesia yang tangguh, mandiri, dan berdaulat secara energi-dimulai hari ini, dari LNG untuk negeri.
(miq/miq)