Long COVID: Luka yang Masih Tertinggal setelah Dunia Move On

13 hours ago 2

Jakarta -

Saya sendiri sudah lebih dari setahun tidak bisa berlama-lama melakukan pekerjaan yang membutuhkan tenaga besar. Padahal di awal pandemi, saya bisa berjam-jam berdiri di dapur membuat roti. Tapi setelah sembuh dari COVID-19, hidup saya tidak pernah benar-benar kembali seperti semula.

Selama dua tahun setelah sembuh, tubuh saya sulit diajak kompromi. Aktivitas fisik ringan pun bisa memicu rasa lelah yang tak biasa, pegal di sekujur badan, dan kadang nyeri pinggul. Dari luar, saya terlihat baik-baik saja. Tapi tubuh saya bicara sebaliknya.

Bukan hanya orang dewasa, anak-anak ikut terdampak. Misalnya Indra (bukan nama sebenarnya), 11 tahun. Ia nyaris putus sekolah setelah didiagnosis epilepsi fokal usai sembuh dari COVID-19. Sebelum itu, ia kerap mengeluh sakit kepala selama berbulan-bulan, matanya terasa 'melayang', dan sulit fokus belajar. Kini, muncul pula alergi yang sebelumnya tidak pernah ada. Setiap bulan, kedua orang tuanya harus merogoh kocek dalam untuk pengobatan.

Tapi siapa yang peduli sekarang?

Ketika Dunia Ingin Cepat 'Move On'

Indonesia sudah masuk era endemi. Tapi Long COVID tetap nyata. Sayangnya, topik ini nyaris lenyap dari ruang publik.

Tak ada lagi kampanye. Tak ada edukasi di media sosial. Tak ada layanan pemulihan khusus. Bahkan, pejabat pun jarang membicarakan masalah ini.

Padahal WHO menegaskan, Long COVID bisa menyerang siapa saja-bahkan mereka yang saat terinfeksi hanya mengalami gejala ringan.

Gejalanya bukan sekadar batuk. Tapi bisa berupa:

  • Kelelahan ekstrem
  • Kebingungan mental (brain fog)
  • Detak jantung tidak stabil
  • Depresi dan kecemasan
  • Gangguan pernapasan atau nyeri dada,

Dan masih banyak lagi gejala yang dirasakan penyintas COVID.

Riset WHO memperkirakan 10-20 persen penyintas mengalami kondisi ini. Di Asia, angka itu bisa lebih tinggi karena banyak kasus infeksi yang tidak terdiagnosis atau tercatat.

Negara Diam, Warga Cuek

Long COVID seperti tak dianggap. Pemerintah diam, masyarakat pun bosan.

Bisa jadi ini karena kepercayaan publik yang sudah telanjur rusak. Selama pandemi, informasi terus berubah. Banyak yang akhirnya skeptis-bahkan sinis.

Tak sedikit yang berkomentar, "Ah, ini cuma mau jual vaksin lagi," atau, "Nakut-nakutin biar kita takut lagi."

Lebih buruk lagi, gejala-gejala usai terkena COVID seperti kelelahan, gangguan saraf, atau nyeri dada seringkali dianggap sebagai efek vaksin, bukan virus. Ini membuat para penyintas makin terpinggirkan. Keluhan mereka sering kali dibantah atau dialihkan ke isu lain.

Padahal, baik vaksin maupun virus COVID-19 bisa menimbulkan efek samping. Tapi tanpa komunikasi publik yang jujur dan terbuka, kebingungan ini hanya akan memperburuk stigma dan memecah solidaritas.

Hidup dengan gejala yang tak diakui

Yang paling menderita adalah penyintas. Mereka dipaksa terlihat sembuh, padahal belum.

Ketika memeriksakan diri, diagnosis yang ditegakkan sering kali hanyalah psikosomatis atau gangguan lain tanpa mempertimbangkan kemungkinan Long COVID. Berganti-ganti dokter pun sudah dijalani. Hasilnya nihil. Yang ada biaya membengkak, hasil tetap buram.

Berganti-ganti dokter pun sudah dijalani, namun tak ada hasil. Yang ada, habis biaya yang tak sedikit untuk mencari pengobatan. Banyak penyintas akhirnya memilih diam. Mereka berdamai sendiri dengan tubuh yang tak lagi seperti dulu.

Tak ada ruang bicara. Tak ada empati. Hidup dalam masyarakat yang ingin cepat move on.

Di luar, taman hiburan dan konser sudah ramai lagi. Tapi di rumah, ada yang bahkan keluar kamar pun tak sanggup.

NEXT: Ketika dampaknya tak lagi personal

Ketika dampaknya tak lagi personal

Long COVID bukan hanya tentang individu yang menderita diam-diam. Dampaknya bisa jauh lebih luas.

Beberapa pakar menduga penurunan fungsi kognitif akibat Long COVID, seperti kebingungan atau gangguan konsentrasi, bisa berkontribusi terhadap meningkatnya kecelakaan lalu lintas. Gejala seperti brain fog, kelelahan akut, atau gangguan tidur bisa memengaruhi konsentrasi saat berkendara-tanpa disadari.

Belum lagi meningkatnya kasus kematian mendadak pada usia produktif yang banyak dilaporkan belakangan ini. Meski tak semua bisa dikaitkan langsung, Long COVID patut dicurigai sebagai salah satu faktor tersembunyi yang memperburuk kondisi kesehatan tanpa gejala jelas.

Beberapa perusahaan asuransi bahkan mencatat lonjakan klaim untuk masalah jantung, paru-paru, dan gangguan saraf dalam dua tahun terakhir. Gejala-gejala ini sejalan dengan daftar dampak Long COVID versi WHO.

Apakah kita cukup serius melihat ini sebagai ancaman terhadap keselamatan publik?

Long COVID adalah tes solidaritas

Ini bukan cuma soal virus. Ini soal ingatan. Soal empati. Soal apakah kita benar-benar belajar dari pandemi.

Jika negara terus mengabaikan, dan masyarakat terus melupakan, Long COVID akan menjadi luka kolektif yang tidak pernah sembuh.

Saya menulis ini bukan untuk dikasihani. Tapi karena saya tahu masih banyak yang seperti saya, diam-diam menderita, tapi tak dianggap. Kami butuh didengar. Kami butuh diingat.

Akhirnya, ini bukan lagi soal kesehatan. Ini soal solidaritas.

Lalu apa yang bisa dilakukan?

Untuk menghadapi Long COVID secara serius, beberapa langkah awal bisa dilakukan:

  1. Pemerintah daerah dan pusat perlu membentuk layanan rehabilitasi Long COVID di rumah sakit rujukan, bekerja sama dengan spesialis paru, neurologi, psikiatri, dan rehabilitasi medik. Selain itu menyediakan layanan booster vaksin untuk warga yang membutuhkan.
  2. Komunitas penyintas dan LSM bisa memperkuat peran advokasi dan pendampingan, terutama untuk kasus anak-anak dan penyintas rentan.
  3. Media massa perlu memberi ruang untuk cerita penyintas agar publik sadar bahwa penyakit ini belum selesai.
  4. Kita, sebagai individu bisa berkontribusi, misalnya dengan tetap memakai masker saat flu, rutin memeriksakan kesehatan pascainfeksi, dan berbagi informasi yang benar.

Long COVID bukan aib. Ini bagian dari realitas pascapandemi yang harus kita hadapi bersama, dengan ilmu, dengan empati, dan tentu saja, dengan hadirnya kebijakan.

Catatan Redaksi: Penulis merupakan anggota Covid Survivor Indonesia (CSI) dan jurnalis lepas

Simak Video "Video Update Situasi Kasus Covid-19 di Indonesia"
[Gambas:Video 20detik]

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |