Pendidikan anak dimulai jauh sebelum mereka masuk sekolah. Proses itu sudah berjalan bahkan sejak masih bayi, saat anak mulai mengenali suara orang tuanya. Karenanya, sering-sering mengajak ngobrol bisa jadi salah satu cara sederhana untuk mendukung tumbuh kembang kognitif anak.
Aktivitas ini mungkin terdengar sepele. Namun, sejumlah penelitian membuktikan percakapan sehari-hari dengan anak bisa memperkaya kosakatanya sejak usia dini, dan hal ini berkorelasi kuat dengan kesuksesan akademik di masa depan.
Semakin banyak kata yang dikuasai, semakin mudah anak memahami pelajaran, mengekspresikan ide, serta menangkap instruksi. Proses belajar pun terasa lebih ringan karena otak sudah terbiasa menyerap dan mengolah informasi sejak dini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ajak Bicara Anak Dapat Menstimulasi Perkembangan Kognitif
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendktisaintek), Prof Stella Christie, menjelaskan sering berdiskusi atau bahkan sekadar mengajak anak berbicara dapat menstimulasi perkembangan kognitif.
"Ada korelasi yang sangat kuat antara jumlah kosa kata seorang anak pada umur 5 tahun dan prestasi mereka di sekolah sampai selesai SMA. Jadi, kosa kata, jumlah kata-kata yang mereka miliki pada umur 5 tahun itu memprediksi kemampuan akademik mereka sampai SMA," kata Stella kepada detikcom, Jumat (18/7/2025).
Salah satu temuan studi yang dipublikasikan di Cambridge Core dengan judul 'Early Productive Vocabulary Predicts Academic Achievement 10 Years Later' mendukung pendapat tersebut. Studi tersebut menemukan, hasil pendidikan (prestasi akademik) dapat diprediksi sejak usia yang sangat dini (di bawah 2 tahun), yaitu melalui ukuran perkembangan bahasa berupa jumlah kosakata produktif yang dilaporkan oleh orang tua. Efek dari ukuran ini setara dengan peningkatan skor membaca rata-rata selama satu tahun.
"Namun, terdapat variasi besar dalam hasil akhir yang dicapai anak-anak. Prediksi ini bisa menjadi lebih akurat jika dikombinasikan dengan informasi relevan lainnya, seperti riwayat keluarga dengan kesulitan belajar, status sosial ekonomi (SES) yang rendah, dan kemampuan memahami yang lemah," demikian kata peneliti dalam studi tersebut.
Alasan Ajak Bicara Bantu Tingkatkan Kecerdasan Anak
Spesialis anak Dr dr Ahmad Suryawan, SpA(K) dalam sebuah wawancara dengan detikcom pada 2013 mengatakan, selain motorik halus dan kasar, kecerdasan anak juga dipengaruhi kemampuan melihat, mendengar, bicara, dan berbahasa yang prosesnya dimulai sejak anak di dalam kandungan.
"Pendengaran dan penglihatan yang normal mempengaruhi kemampuan bicara dan berbahasa yang merupakan pintu gerbang kecerdasan. Setelah pendengaran dan penglihatan normal, beri input berupa kata-kata. Makanya jangan jadi orang tua yang pendiam, tapi banyak omong" papar dr Ahmad.
Ia menjelaskan, di otak anak ada area yang bertindak sebagai bank untuk menyimpan kosakata yang berasal dari kata-kata sehari-hari. Kata-kata tersebut, lanjutnya, berasal dari omongan orang tua, pengasuh, atau orang di sekitar si anak. Ketika anak mendengar kosakata tersebut, bagian otak akan menyimpannya.
"Setiap kata yang masuk tiap hari, otak makin penuh, saat tidak bisa menampung, kata tersebut akan ditransfer ke bagian otak lain. Kalau pendengarannya normal tapi enggak ada input berupa omongan ya sama aja bohong. Kata yang disimpan di otak nggak cuma untuk komunikasi saja tapi juga untuk kecerdasan dan perilakunya," tambah dr Wawan.
Senada, Psikolog Universitas Indonesia (UI), Rose Mini Agoes Salim, M.Psi, mengatakan pentingnya memberikan stimulasi yang tepat kepada anak sejak dini agar siap masuk sekolah, khususnya jenjang SD. Dalam sebuah webinar yang disiarkan melalui kanal YouTube Direktorat Guru PAUD dan Diknas Kemdikbud RI pada 8 Maret 2022, bertajuk 'Transisi PAUD ke SD', Rose menjelaskan usia bukan satu-satunya penentu kesiapan anak.
"Golden Age, kenapa anak usia dini menjadi Golden Age kita tahu perkembangan otaknya dan sebagainya," kata Rose.
"Kalau stimulasi bagus, anak pasti matang ke sekolah. Kenapa usia 7 tahun matang? Karena itu diambil pada usia kematangan rata-rata," tambahnya.
Rose Mini juga menekankan perlunya kesiapan lain yang tak kalah penting, terutama dari aspek bahasa. Ia menyebutkan anak perlu memiliki kemampuan seperti memperkenalkan diri, bernyanyi, bercerita, hingga mampu menjawab pertanyaan sederhana. Semua ini merupakan indikator stimulasi kognitif dan bahasa anak berjalan dengan baik.
"Bahasa, memperkenalkan diri, tahu tentang dirinya. Dari sejak kecil, anak harus tahu kemampuan dirinya. Kalau dia bilang saya sudah kenyang, itu bagus paham tentang dirinya,"
"Di bahasa memperkenalan diri, bercerita mengenai keadaan di rumah, menjawab pertanyaan itu bisa dilakukan pada anak menjelang masuk ke sekolah dasar," katanya lagi.
Dampak Anak Tak Diajak Bicara Sejak Dini
Di sisi lain, kurangnya interaksi verbal sejak dini dapat berdampak pada lambatnya perkembangan bahasa dan kognitif anak. Anak yang jarang diajak berbicara berisiko mengalami keterlambatan bicara, minim kosakata, dan kesulitan dalam memahami instruksi atau menyampaikan pikiran secara jelas.
Prof Stella mengatakan sedikit kosakata dapat membuat anak kesulitan mengikuti pelajaran.
"Ada scientific evidence-nya, berbicara dengan anak, mendengarkan pertanyaan anak dan menjawab pertanyaan anak, itu adalah suatu cara yang luar biasa efektif untuk membangun kognitif kemampuan anak ini untuk berprestasi," jelasnya.
Senada, penelitian yang dipublikasikan di Sage Journals berjudul 'Talking to Children Matters: Early Language Experience Strengthens Processing and Builds Vocabulary' juga menemukan jumlah kata yang langsung ditujukan kepada anak (child-directed speech) jauh lebih berpengaruh terhadap perkembangan kosakata dibandingkan kata-kata yang hanya terdengar secara pasif (overheard speech).
Studi ini melibatkan anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah di Spanyol dan menunjukkan anak-anak yang sering diajak bicara memiliki kosakata yang lebih luas serta kemampuan pemrosesan bahasa yang lebih cepat.
"Paparan yang lebih luas terhadap percakapan yang diarahkan anak tidak hanya menyediakan lebih banyak model untuk mempelajari kata-kata, tetapi juga mempertajam keterampilan pemrosesan leksikal bayi yang sedang berkembang, dengan manfaat berjenjang untuk pembelajaran kosakata," demikian kata peneliti studi tersebut.
Pendidikan anak dimulai jauh sebelum mereka masuk sekolah. Proses itu sudah berjalan bahkan sejak masih bayi, saat anak mulai mengenali suara orang tuanya. Karenanya, sering-sering mengajak ngobrol bisa jadi salah satu cara sederhana untuk mendukung tumbuh kembang kognitif anak.
Aktivitas ini mungkin terdengar sepele. Namun, sejumlah penelitian membuktikan percakapan sehari-hari dengan anak bisa memperkaya kosakatanya sejak usia dini, dan hal ini berkorelasi kuat dengan kesuksesan akademik di masa depan.
Semakin banyak kata yang dikuasai, semakin mudah anak memahami pelajaran, mengekspresikan ide, serta menangkap instruksi. Proses belajar pun terasa lebih ringan karena otak sudah terbiasa menyerap dan mengolah informasi sejak dini.
Ajak Bicara Anak Dapat Menstimulasi Perkembangan Kognitif
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendktisaintek), Prof Stella Christie, menjelaskan sering berdiskusi atau bahkan sekadar mengajak anak berbicara dapat menstimulasi perkembangan kognitif.
"Ada korelasi yang sangat kuat antara jumlah kosa kata seorang anak pada umur 5 tahun dan prestasi mereka di sekolah sampai selesai SMA. Jadi, kosa kata, jumlah kata-kata yang mereka miliki pada umur 5 tahun itu memprediksi kemampuan akademik mereka sampai SMA," kata Stella kepada detikcom, Jumat (18/7/2025).
Salah satu temuan studi yang dipublikasikan di Cambridge Core dengan judul 'Early Productive Vocabulary Predicts Academic Achievement 10 Years Later' mendukung pendapat tersebut. Sudi tersebut menemukan, hasil pendidikan (prestasi akademik) dapat diprediksi sejak usia yang sangat dini (di bawah 2 tahun), yaitu melalui ukuran perkembangan bahasa berupa jumlah kosakata produktif yang dilaporkan oleh orang tua. Efek dari ukuran ini setara dengan peningkatan skor membaca rata-rata selama satu tahun.
"Namun, terdapat variasi besar dalam hasil akhir yang dicapai anak-anak. Prediksi ini bisa menjadi lebih akurat jika dikombinasikan dengan informasi relevan lainnya, seperti riwayat keluarga dengan kesulitan belajar, status sosial ekonomi (SES) yang rendah, dan kemampuan memahami yang lemah," demikian kata peneliti dalam studi tersebut.
Alasan Ajak Bicara Bantu Tingkatkan Kecerdasan Anak
Spesialis anak Dr dr Ahmad Suryawan, SpA(K) dalam sebuah wawancara dengan detikcom pada 2013 mengatakan, selain motorik halus dan kasar, kecerdasan anak juga dipengaruhi kemampuan melihat, mendengar, bicara, dan berbahasa yang prosesnya dimulai sejak anak di dalam kandungan.
"Pendengaran dan penglihatan yang normal mempengaruhi kemampuan bicara dan berbahasa yang merupakan pintu gerbang kecerdasan. Setelah pendengaran dan penglihatan normal, beri input berupa kata-kata. Makanya jangan jadi orang tua yang pendiam, tapi banyak omong" papar dr Ahmad.
Ia menjelaskan, di otak anak ada area yang bertindak sebagai bank untuk menyimpan kosakata yang berasal dari kata-kata sehari-hari. Kata-kata tersebut, lanjutnya, berasal dari omongan orang tua, pengasuh, atau orang di sekitar si anak. Ketika anak mendengar kosakata tersebut, bagian otak akan menyimpannya.
"Setiap kata yang masuk tiap hari, otak makin penuh, saat tidak bisa menampung, kata tersebut akan ditransfer ke bagian otak lain. Kalau pendengarannya normal tapi nggak ada input berupa omongan ya sama aja bohong. Kata yang disimpan di otak nggak cuma untuk komunikasi saja tapi juga untuk kecerdasan dan perilakunya," tambah dr Wawan.
Senada, psikolog Roslina Verauli juga mengatakan bahwa dengan bercerita, anak dapat mengembangkan imajinasinya, menjadi sarana stimulasi yang merangsang area kecerdasan anak.
Terlebih, dengan bercerita konsep bahasanya pun semakin terasah, bahkan kemampuan sosial secara emosional pun terbentuk. Melalui kegiatan bercerita itu orang tua bisa menanamkan pemahaman yang positif kepada anak.
"Salah satu stimulasi yang dapat diberikan orangtua kepada anak ialah kegiatan bercerita. Bercerita itu berbeda dengan dongeng. Kalau dongeng itu hanya satu arah, sementara kalau bercerita itu terdapat interaksi dua arah," kata psikolog Roslina kepada detikcom dalam sebuah wawancara pada 2013.
Misalnya saat orangtua bercerita tentang kegelapan, diarahkan agar anak tidak takut gelap. "Mungkin awalnya anak takut, mengira bahwa di tempat gelap itu, di dindingnya bisa muncul hantu, padahal ternyata bayangan yang ada di dinding adalah bayangan dari tongkat pel," ucapnya.
Dampak Anak Tak Diajak Bicara Sejak Dini
Di sisi lain, kurangnya interaksi verbal sejak dini dapat berdampak pada lambatnya perkembangan bahasa dan kognitif anak. Anak yang jarang diajak berbicara berisiko mengalami keterlambatan bicara, minim kosakata, dan kesulitan dalam memahami instruksi atau menyampaikan pikiran secara jelas.
Prof Stella mengatakan sedikit kosakata dapat membuat anak kesulitan mengikuti pelajaran.
"Ada scientific evidence-nya, berbicara dengan anak, mendengarkan pertanyaan anak dan menjawab pertanyaan anak, itu adalah suatu cara yang luar biasa efektif untuk membangun kognitif kemampuan anak ini untuk berprestasi," jelasnya.
Senada, penelitian yang dipublikasikan di Sage Journals berjudul 'Talking to Children Matters: Early Language Experience Strengthens Processing and Builds Vocabulary' juga menemukan jumlah kata yang langsung ditujukan kepada anak (child-directed speech) jauh lebih berpengaruh terhadap perkembangan kosakata dibandingkan kata-kata yang hanya terdengar secara pasif (overheard speech).
Studi ini melibatkan anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah di Spanyol dan menunjukkan anak-anak yang sering diajak bicara memiliki kosakata yang lebih luas serta kemampuan pemrosesan bahasa yang lebih cepat.
"Paparan yang lebih luas terhadap percakapan yang diarahkan anak tidak hanya menyediakan lebih banyak model untuk mempelajari kata-kata, tetapi juga mempertajam keterampilan pemrosesan leksikal bayi yang sedang berkembang, dengan manfaat berjenjang untuk pembelajaran kosakata," demikian kata peneliti studi tersebut.
Masa depan Si Kecil bukan terjadi karena kebetulan, tapi terbentuk dari pilihan terbaik yang orang tua buat hari ini. Karena #WaktuTakBisaKembali Morinaga memahami bahwa peran orang tua sangat penting dalam menentukan arah tumbuh kembang anak.
Karena itu, Morinaga hadir mendampingi Bunda dan Ayah melalui tiga kunci penting: memberikan Atensi penuh di setiap tahap perkembangan Si Kecil, mengasah Potensi unik yang dimilikinya, dan memenuhi kebutuhan Nutrisi Tepat sebagai fondasi tumbuh kembang optimal.
Dengan dukungan terbaik sejak sekarang, setiap pilihan Ayah dan Bunda adalah langkah besar menuju masa depan terbaik Si Kecil. Morinaga. Your Choice, Their Future
(akd/akd)