Dear Mr. Trump, AS Gak Bisa Bangun Industri Tembaga dalam Semalam

5 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia- Harga tembaga di Amerika Serikat (AS) tiba-tiba melonjak tajam. Dalam satu hari, nilainya melesat lebih dari 13%, mencetak rekor US$5,69 per pon kenaikan harian tertinggi dalam lebih dari tiga dekade.

Di pasar global seperti London Metal Exchange (LME), lonjakannya hanya 0,3%. Beda jauh. Penyebab utamanya? Kebijakan Presiden AS Donald Trump yang mengumumkan rencana tarif impor 50% untuk logam merah ini.

Lonjakan tersebut membuka jurang harga antara pasar AS dan dunia. Dalam hitungan bulan, selisih antara kontrak Comex (AS) dan LME melejit dari rerata historis US$150 menjadi lebih dari US$2.600 per ton.

Kesenjangan ini mulai terasaefeknya ke dapur ekonomi rumah tangga dan dunia usaha. 

Mulai Agustus, menurut Benchmark Mineral Intelligence, konsumen AS diperkirakan akan membayar sekitar US$15.000 per metrik ton untuk tembaga, sementara negara-negara lain hanya membayar sekitar US$10.000, jika tarif 50% benar-benar diberlakukan pada awal Agustus.

Daan de Jonge, analis utama Benchmark, mengatakan perbedaan harga yang sangat besar ini akan mulai berdampak signifikan pada ekonomi.

"Dalam pengeluaran rumah tangga jika Anda membeli kulkas baru, AC, mobil semuanya akan jadi lebih mahal, dan perusahaan kemungkinan besar akan membebankan kenaikan harga itu kepada konsumen," ujar Benchmark Mineral Intelligence, kepada CNBC International.

Bergantung pada tarif akhir yang ditetapkan, konsumen AS bisa saja memilih untuk membeli barang buatan luar negeri yang lebih murah karena dampak harga tersebut.

"Kalau kita bicara soal belanja publik, utang AS sudah semakin mahal, nilai dolar sedang turun, dan sekarang ada tambahan beban kenaikan harga bahan baku penting untuk proyek infrastruktur... Saya perkirakan hal ini akan mulai berdampak pada tingkat lapangan kerja." imbuhnya.

Pasar sebenarnya sudah deg-degan sejak Februari, saat isu tarif mulai berembus. Banyak eksportir sengaja buru-buru mengirim tembaga ke AS sebelum pajak berlaku.

Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick menyampaikan bahwa kebijakan ini akan aktif "akhir Juli atau awal Agustus."

Efeknya akan terasa sampai ke rumah-rumah kita. Harga kulkas, AC, bahkan mobil bisa ikut naik. Menurut Benchmark Mineral Intelligence, jika tarif benar-benar berlaku, harga tembaga di AS bisa menyentuh US$15.000 per ton. Bandingkan dengan pasar dunia yang masih di kisaran US$10.000.

Kondisi ini bisa jadi pukulan telak bagi sektor industri dan rumah tangga AS.

Titik Balik AS atau Beban?

AS mengimpor sekitar 45-50% dari kebutuhan tembaganya dari luar negeri. Laporan Gedung Putih menyebutkan bahwa impor tembaga menyumbang hampir setengah dari konsumsi domestik AS.

S&P Global memperkirakan ketergantungan ini bisa mencapai 60% dalam dekade mendatang jika produksi dalam negeri tidak meningkat signifikan

Di satu sisi, proyek-proyek infrastruktur dan teknologi seperti pembangunan jaringan AI bisa terganjal biaya bahan baku. Di sisi lain, rumah tangga mungkin mulai berpikir ulang sebelum mengganti barang elektronik atau kendaraan.

Yang menarik, ada kemungkinan proyek-proyek mulai beralih ke aluminium sebagai alternatif. Tapi seperti banyak solusi darurat lainnya, itu pun datang dengan kompromi, aluminium lebih berat dan perawatannya lebih mahal dibanding tembaga.

Industri tembaga AS sendiri memiliki banyak hambatan untuk berkembang.

Hambatan utama untuk meningkatkan produksi tembaga dalam negeri di AS mencakup lamanya proses perizinan proyek pertambangan dan biaya besar untuk membuka fasilitas baru, yang sepenuhnya bergantung pada kondisi pasar saat ini bertahan dalam jangka panjang.

"Pertanyaannya adalah: apakah Amerika bisa menggantikan produk impor dengan produk buatan dalam negeri, dan seberapa cepat?" kata Peter Chase, peneliti senior di German Marshall Fund, Rabu di acara "Squawk Box Europe" CNBC.

"Realitas yang harus dihadapi adalah, meskipun diberlakukan tarif 50% atas tembaga impor, produksi tembaga di AS tidak akan langsung meroket besok pagi," ujar Chase.

Chase juga menambahkan bahwa konsumen dan pelaku usaha di AS akan langsung merasakan dampaknya, terutama terhadap rencana pembangunan infrastruktur AI (kecerdasan buatan) yang sedang digalakkan.

Sementara itu, analis dari Citi menyebut hari Selasa sebagai momen titik balik bagi pasar tembaga pada 2025.

"Penerapan tarif yang segera diberlakukan akan menutup jendela ekspor tembaga ke AS secara tiba-tiba mungkin untuk sisa tahun 2025. Hal ini diperkirakan akan menyebabkan penurunan harga tembaga global di luar AS," tulis Citi kepada CNBC International.

Di tengah ketidakpastian, satu hal yang bisa dipastikan efek dari krisis ini dapat perlahan menyentuh keseharian, dari harga alat rumah tangga hingga peluang kerja di proyek besar.

Namun, di balik krisis ini, ada peluang yang diam-diam menguntungkan Indonesia.

Di saat Peru dan Meksiko dua pengekspor tembaga utama ke AS berpotensi terpukul oleh tarif, Indonesia justru berdiri di pinggir ring, menunggu giliran tampil.

Indonesia bukan eksportir besar ke AS, tapi punya pasar kuat di Asia. China, Malaysia, dan Vietnam adalah pembeli utama produk tembaga RI.

Indonesia juga punya bekal kuat cadangan logam tembaga RI mencapai 24 juta ton, terbesar kesepuluh di dunia, bahkan melebihi milik China dan Polandia.

Produksinya stabil di 100 juta ton bijih per tahun, dan smelter-smelter baru siap memperkuat hilirisasi nasional. Yang tak kalah penting, penerimaan negara dari bea keluar tembaga ikut melonjak mencapai Rp14,6 triliun hanya dalam enam bulan pertama 2025.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(emb/emb)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |